Hari ini membaca buku dengan Judul Buku: 窮中談吃Berbicara tentang Makanan dalam Kemiskinan
Nama Penulis: Shu Guozhi舒國治
Buku Berbicara tentang Makanan dalam Kemiskinan ini mencerminkan pandangan Shu Guozhi sanga penulis, ketika kondisi ekonomi memburuk dan sulit menemukan jalan keluar, pilihan pertama yang sering muncul adalah membuka warung makan kecil. Tanpa mengejar kemewahan atau kehalusan cita rasa, makanan yang lezat tetap dapat disajikan dengan menggunakan bahan-bahan sederhana yang tersedia sehari-hari, dipadukan dengan teknik memasak khas serta tambahan minyak, garam, gula, dan cuka.
Oleh karena itu, semakin miskin seseorang, terkadang justru semakin baik makanan yang dinikmatinya. Kesederhanaan, harga terjangkau, dan cita rasa yang nikmat merupakan ciri khas makanan jalanan di Taiwan serta inti dari filosofi makan dalam keterbatasan ekonomi.
Setelah sukses dengan Catatan Kuliner Taipei, Shu Guozhi kembali mengangkat pengalaman kulinernya dalam buku terbaru ini. Meskipun membahas kuliner Taiwan secara luas, fokus utama tetap tertuju pada makanan jalanan Taipei, menjadikannya seolah-olah sebagai versi lanjutan dari buku sebelumnya.
Jika Catatan Kuliner Taipei merinci berbagai warung makan di kota tersebut, maka Berbicara tentang Makanan dalam Kemiskinan menyajikan gambaran umum tentang hidangan rakyat Taiwan, termasuk nasi, mi, pangsit, bento, hingga prasmanan. Dengan deskripsi yang detail dan menggugah selera, buku ini menjadi bacaan yang sulit ditahan untuk dibuka saat larut malam.
Selain menggambarkan keunikan kuliner jalanan Taiwan secara keseluruhan, Shu Guozhi juga mengulas teknik memasak dan cara menikmati berbagai makanan, seperti nasi goreng.
Menurutnya, nasi goreng sudah mengandung semua cita rasa terbaik dalam satu piring sehingga sebaiknya tidak disantap bersama lauk tambahan, karena hal itu justru mengaburkan rasa asli nasi goreng tersebut. Pemilihan beras pun menjadi faktor penting; nasi untuk nasi goreng sebaiknya tidak terlalu kenyal agar mudah disantap dalam suapan besar. Oleh karena itu, beras ketan atau varietas seperti Koshihikari dan beras Chihshang kurang cocok digunakan. Bahkan untuk menu yang sesederhana telur goreng nasi, teknik memasaknya harus diperhatikan, misalnya dengan menggoreng telur terlebih dahulu menggunakan api kecil hingga berbentuk seperti bubur kental sebelum dicampur dengan nasi dingin untuk menghasilkan efek "emas membungkus perak." Ada pula teknik lain, yaitu menumis nasi terlebih dahulu sebelum menggesernya ke tepi wajan, lalu menambahkan minyak di tengah dan menggoreng telur secara singkat sebelum mencampurnya dengan nasi. Menu sederhana ini ternyata menyimpan begitu banyak kebijaksanaan di baliknya.
Selain itu, prasmanan dan bento juga menjadi bagian dari tradisi kuliner Taiwan. Shu Guozhi mengulas kriteria lauk bento yang ideal: tidak boleh terlalu berair, tidak boleh berupa makanan yang terlalu renyah, lebih cocok jika berbentuk potongan atau hasil fermentasi, serta harus memiliki warna pekat yang tahan disimpan dalam suhu ruangan. "Porsi bento yang pas, dengan nasi dan beberapa lauk dalam jumlah kecil, membuatnya ideal untuk masyarakat urban—praktis dan sehat," ujarnya. Buku ini juga mencantumkan sepuluh makanan yang paling merepresentasikan karakter kuliner Taipei, yaitu:
- Mi daging sapi
- Warung mi dan makanan dimasak kecap (luwei) seperti semur
- Warung susu kedelai
- Prasmanan
- Bubur dan lauk kecil
- Mi kering Fuzhou
- Roti isi daging, sup usus, sup soun, dan bacang
- Nasi khas Sichuan
- Misoa
- Bento
Ditambah dengan daftar lebih dari tiga puluh warung makan ikonik yang paling berkesan, buku ini menggambarkan kekayaan kuliner Taipei secara mendalam.
Dimanapun di Taiwan, hidangan lezat selalu dapat ditemukan. Melalui tulisan Shu Guozhi, pembaca tidak hanya merasa lapar tetapi juga semakin menyadari betapa beruntungnya bisa tinggal di pulau ini.
Gaya penulisan Shu Guozhi tentang makanan jalanan sangat khas. Ia sangat menyukai pangsit dan memberikan pujian tinggi pada mi daging sapi di restoran Din Tai Fung. Meskipun memiliki kecintaan mendalam terhadap makanan, ia juga cukup selektif, menolak menyantap makanan dengan nama yang terlalu berlebihan seperti "Naga, Harimau, dan Phoenix" atau "Merak Membuka Sayap." Ia juga menghindari beberapa bahan seperti ikan kering (katsuobushi), udang kering, MSG, telur pitan, bacon, ham, jamur shiitake, dan kerang kering. Alasannya? Ia memiliki prinsip tersendiri dalam memilih makanan, yang mungkin membuat pembaca tersenyum saat membacanya.