(Taiwan, ROC) --- Presiden Suriah Bashar Assad jatuh dari kekuasaan pada Desember tahun lalu, membalikkan situasi perang saudara yang telah berlangsung selama 13 tahun. Warga Suriah yang mengungsi ke Eropa merayakan bersama dengan saudara-saudara mereka di tanah air, ketika Suriah akhirnya mencapai momen kebebasannya.
Namun, beberapa negara Eropa segera mengumumkan pembekuan permohonan suaka, membuat nasib warga Suriah di luar negeri mungkin menghadapi ketidakpastian yang sama seperti negara asal mereka yang sedang dalam proses pembangunan kembali.
Kenangan Swafoto Bersejarah dengan Angela Merkel, Migran Suriah Mengenang Perjalanannya
Pada September 2015, Eropa sedang menghadapi krisis pengungsi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak orang dan jurnalis menunggu di luar pusat penampungan pencari suaka di Berlin, menanti kedatangan Kanselir Jerman saat itu, Angela Merkel.
Ketika Merkel keluar dari mobilnya, orang-orang dan media bergegas mendekat, dan di tengah kekacauan itu, Anas Modamani, pengungsi Suriah yang baru tiba di Jerman sehari sebelumnya, mendekatinya, menyapa Merkel dan mengajaknya berfoto selfie bersama.
Foto ini kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui media dan platform sosial, mengabadikan momen kebijakan Jerman yang membuka pintu bagi para pengungsi. Anas Modamani yang saat itu baru berusia 18 tahun bahkan tidak tahu bahwa orang yang berfoto bersamanya adalah Kanselir Jerman.
Melompat ke masa kini, setelah pemerintahan Assad jatuh pada awal Desember 2024, Anas Modamani kini telah menetap di Jerman selama 9 tahun. Setelah pasukan pemberontak Suriah mengakhiri setengah abad pemerintahan diktator keluarga Assad, Anas Modamani berbagi cerita dengan media The Guardian tentang momen bersejarah ketika dia pertama kali tiba di negeri asing, Jerman, yang kemudian membuatnya terkenal.
"Saya kira dia hanya ingin tahu siapa kami dan bagaimana keadaan kami," kata Modamani, yang baru saja tiba di ibu kota Jerman sehari sebelumnya bersama ratusan pengungsi Suriah lainnya, setelah melarikan diri dari tanah air mereka yang dilanda perang dan menjalani perjalanan panjang yang melelahkan.
Modamani mengingat saat itu dia berkata kepada Merkel, "Mari kita ambil foto," lalu dia sedikit membungkuk dan mengeluarkan ponselnya untuk selfie dengan Merkel.
Modamani, yang kini berusia 27 tahun, mengatakan beberapa detik kemudian orang-orang mulai berteriak Mama Merkel. Baru setelah itu dia tahu kalau sosok yang diajaknya selfie bersama adalah orang yang membuat keputusan bersejarah untuk tidak menutup perbatasan Jerman dan mengizinkan pengungsi Suriah masuk.
Keterbukaan terhadap Pengungsi dan Kebangkitan Sayap Kanan
Modamani kini telah membangun kembali hidupnya di Jerman dan bekerja sebagai produser berita video di media. Setelah jatuhnya pemerintahan Assad, dia sering ditanya tentang perasaan warga Suriah.
"Ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Saya tidak perlu lagi khawatir tentang keluarga saya di Suriah seperti yang saya lakukan selama bertahun-tahun. Dan saya senang dengan fakta bahwa sekarang saya memiliki dua rasa memiliki dan dua tanah air," katanya
Modamani juga menunjukkan bahwa budaya penyambutan Willkommenskultur Jerman masih berlanjut dalam masyarakat, yakni sebuah sikap keramahan dan inklusif terhadap pendatang seperti imigran atau pengungsi.
Konsep ini terutama tercermin pada puncak krisis pengungsi Eropa, ketika Merkel mengadopsi kebijakan terbuka, menekankan empati, integrasi, dan kemampuan Jerman untuk menangani krisis.
Namun, hal ini juga memicu penentangan keras di dalam negeri Jerman. Masuknya para pencari suaka sangat terkait dengan kebangkitan partai sayap kanan anti-imigran, Alternative für Deutschland (AfD).
Jatuhnya Assad: Sayap Kanan Eropa Mencium Peluang Politik
Sejatinya, dukungan terhadap partai-partai sayap kanan ekstrem di Eropa telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir, mencerminkan penolakan masyarakat Eropa secara keseluruhan terhadap gelombang imigrasi.
Setelah jatuhnya pemerintahan Assad, kebijakan suaka di berbagai negara Eropa mengalami perubahan drastis, membuat nasib para migran Suriah menghadapi ketidakpastian.
Media nirlaba Australia The Conversation melaporkan, meskipun ada optimisme untuk Suriah baru yang bebas dan demokratis, tetapi banyak negara Eropa melihat ini sebagai peluang politik, terutama di negara-negara di mana isu imigrasi menjadi topik hangat.
Di Jerman, di mana pemilihan parlemen akan digelar pada 23 Februari 2025, isu ini berada pada momentum kritis. CDU/CSU yang saat ini difavoritkan untuk memerintah dan AfD yang menduduki posisi kedua dalam jajak pendapat, keduanya mendukung pengetatan lebih lanjut terkait kebijakan imigrasi dan mendorong warga Suriah untuk kembali ke negara mereka.
Setelah jatuhnya pemerintahan Assad, negara-negara Eropa termasuk Jerman, Prancis, dan Swedia telah menangguhkan permohonan suaka untuk pengungsi Suriah. Di Belanda, koalisi yang dipimpin oleh nasionalis sayap kanan, Geert Wilders, sedang membahas berbagai opsi, termasuk mengembalikan migran Suriah ke zona aman yang telah ditentukan.
Pembekuan Permohonan Suaka: Pengungsi Suriah Khawatir Akan Deportasi Massal
Meskipun sebagian besar negara belum menetapkan rencana deportasi massal, UNHCR telah menyatakan bahwa kondisi Suriah saat ini belum memungkinkan pengungsi untuk kembali dengan aman, sukarela, dan bermartabat.
Modamani, yang kini telah memperoleh kewarganegaraan Jerman, mengatakan ketidakpastian saat ini telah menimbulkan kecemasan besar di antara hampir satu juta warga Suriah yang tinggal di Jerman. Warga Suriah telah menjadi tenaga kerja penting di Jerman, termasuk sebagai montir mobil, teknisi listrik dan air, serta puluhan ribu tenaga kesehatan.
Modamani sendiri akan kembali ke Suriah pada bulan Februari. Stasiun televisi Jerman akan mendokumentasikan kunjungan pertamanya ke tanah air setelah 9 tahun untuk menemui keluarganya.
Modamani berharap dapat membangun kembali rumah keluarganya yang hancur di Darayya, pinggiran Damaskus, lokasi pembantaian oleh pasukan pemerintah Assad.
Namun, banyak pencari suaka Suriah di Jerman tidak bisa kembali dengan tenang. Aktivis Suriah, Ranim Ahmed, berbicara tentang dilema yang dihadapi para pencari suaka di Jerman.
Ranim Ahmed mengatakan, "Mereka sekarang sangat ingin mencari keluarga mereka. Namun, jika mereka kembali ke Suriah, mereka akan kehilangan status pencari suaka, yang berarti mereka harus memulai hidup mereka dari nol lagi."