(Taiwan, ROC) --- Dengan pengunduran diri Joe Biden dari bursa pemilu AS dan dimulainya era pasca-Biden, banyak pihak mengamati apakah Filipina, yang selama beberapa tahun terakhir bertumpu pada AS, akan menyesuaikan pendekatannya terhadap konflik Laut Tiongkok Selatan yang sedang berlangsung dengan Tiongkok.
Namun, Huang Chung-ting (黃宗鼎), menunjukkan bahwa situasi konflik Laut Tiongkok Selatan telah berubah secara diam-diam.
Insiden 17 Juni: Menunjukkan Keengganan untuk Meningkatkan Eskalasi
Huang Chung-ting berpendapat bahwa puncak konflik Laut Tiongkok Selatan antara Tiongkok dengan Filipina adalah insiden 17 Juni lalu.
Saat itu, Penjaga Pantai Tiongkok, dalam upaya untuk mencegah kapal Filipina memasok kapal yang kandas di Second Thomas Shoal, melakukan tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan menaiki kapal Filipina.
Insiden itu bahkan mengakibatkan seorang warga Filipina kehilangan jarinya.
Namun, Huang Chung-ting menunjukkan bahwa pernyataan yang dikeluarkan oleh AS dan Filipina sangat netral, serta menghindari penekanan pada apakah individu yang terluka adalah "personel militer".
Hal ini menunjukkan bahwa baik AS maupun Filipina tidak ingin meningkatkan eskalasi dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.
"Artinya, dalam menanggapi tindakan Tiongkok di wilayah Second Thomas Shoal pada 17 Juni, AS dan Filipina sebenarnya memiliki alasan yang sah untuk meningkatkan ketegangan dan menekan Tiongkok berdasarkan Pasal Lima Perjanjian Pertahanan Bersama AS-Filipina, yang mencakup ketentuan tentang melukai anggota angkatan bersenjata Filipina," kata Huang Chung-ting.
"Namun, dari pilihan kata-kata yang digunakan, kita sudah bisa merasakan bahwa AS dan Filipina sebenarnya tidak ingin meningkatkan ketegangan."
Sistem Rudal Typhoon Ditarik dari Filipina: Konsensus Redam Ketegangan di Laut Tiongkok Selatan?
Lebih lanjut, Huang Chung-ting mengamati bahwa setelah insiden 17 Juni, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. bahkan mengumumkan bahwa dia telah meminta AS untuk sepenuhnya menarik sistem rudal jarak menengah Typhoon yang dikerahkan di Pulau Luzon, paling lambat bulan September.
Huang Chung-ting berpendapat bahwa pengerahan sistem rudal Typhoon di Pulau Luzon sama dengan menempatkan rudal di Kuba, yang sangat mengancam Tiongkok.
Oleh karena itu, penarikan Typhoon dan reaksi AS-Filipina terhadap insiden 17 Juni menunjukkan bahwa AS, Tiongkok, dan Filipina mungkin telah mencapai konsensus untuk meredakan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.
"Tampaknya mereka tidak ingin meningkatkan ketegangan dengan Tiongkok atas isu-isu Laut Tiongkok Selatan ini," kata Huang Chung-ting.
"Sebaliknya, mereka berharap untuk menurunkan suhu. Pernyataan AS-Filipina tentang penarikan sistem rudal Typhoon dari Pulau Luzon pasti telah disepakati dengan Tiongkok. Jika tidak, mereka tidak akan secara proaktif mengumumkan penarikan sistem rudal tersebut. Artinya, sejak insiden penting 17 Juni, Tiongkok, AS, dan Filipina mungkin telah mencapai kesepakatan di balik layar untuk meredakan konflik Laut Tiongkok Selatan, yang mengarah pada pernyataan publik yang sesuai."
Kesepakatan Sementara Pasokan ke BRP Sierra Madre: Mencegah Eskalasi Konflik?
Mengenai pengumuman bersama Tiongkok dan Filipina tentang kesepakatan sementara untuk pasokan Filipina ke BRP Sierra Madre di masa depan, Huang Chung-ting mengatakan bahwa sebelum insiden 17 Juni, Tiongkok telah mengadopsi pendekatan kontrol jalur laut terhadap pasokan Filipina ke BRP Sierra Madre.
Pada dasarnya, Tiongkok mengizinkan barang-barang kebutuhan kemanusiaan, tetapi memblokir apa pun yang mungkin melibatkan senjata atau bahan bangunan terkait. Karena pemisahan semacam itu sudah ada, seharusnya tidak sulit bagi kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan.
Mengenai keandalan dan keberlanjutan perjanjian tersebut, Huang Chung-ting percaya bahwa dengan AS dan Tiongkok ingin meredakan ketegangan Laut Tiongkok Selatan, selama Tiongkok tidak secara terang-terangan melanggar perjanjian rahasia bilateral, maka konflik antara Tiongkok dan Filipina di Laut Tiongkok Selatan seharusnya tidak meningkat, setidaknya sampai pemilihan presiden AS.
"Saya yakin bahwa untuk periode waktu mendatang, kecuali Tiongkok melampaui perjanjian rahasia bilateral atau melakukan tindakan yang lebih agresif di zona ekonomi eksklusif Filipina, mengingat kebijakan Filipina saat ini untuk melanjutkan penerapan kebijakan transparansi yang tegas, maka konflik tidak akan meningkat," kata Huang Chung-ting.
"Di sisi lain, Filipina dapat terus melawan Tiongkok dalam perang opini publik melalui juru bicara Penjaga Pantai, Penasihat Keamanan Nasional, atau Kepala Staf Umum."
Kemungkinan Trump Kembali ke Gedung Putih: Strategi Penarikan Diri Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan?
Namun, bagaimana jika hasil pemilihan presiden AS adalah kembalinya mantan Presiden Donald Trump ke Gedung Putih? Variabel apa yang akan ditimbulkannya pada perselisihan Laut Tiongkok Selatan saat ini?
Song Guo-cheng (宋國誠), seorang peneliti di Pusat Hubungan Internasional Universitas Nasional Cheng Chi, percaya bahwa Trump tidak akan mudah dihadapi seperti Biden.
Trump berani untuk berkonfrontasi dan tidak akan hanya berbicara tentang strategi, seperti mengelola perbedaan dan menghindari konflik.
Menghadapi Trump yang agresif, Song Guo-cheng percaya bahwa Partai Komunis Tiongkok (PKC) justru akan bertindak hati-hati dan kemungkinan besar akan mengadopsi strategi penarikan diri.
"Trump adalah orang yang berani berkonfrontasi dengan PKC," kata Song Guo-cheng.
"Dia tidak memiliki beban politik atau pengekangan ideologis. Dia memandang masalah dari sudut pandang hitam-putih, dan dia sama sekali tidak dapat diprediksi. Jadi, saya pikir dalam masalah Laut Tiongkok Selatan, meskipun dia tidak akan melepaskan klaim kedaulatannya, dia akan secara proaktif menghindari eskalasi lebih lanjut yang dapat menyebabkan konflik. Dia bahkan mungkin membuat beberapa kompromi, atau apa yang kami sebut sebagai strategi penarikan diri."
Dengan pemilihan presiden AS pada bulan November yang akan tiba sebentar lagi, membuat persaingan antara Partai Demokrat dan Republik kian ketat.
Baik apakah Donald Trump atau Kamala Harris yang akan memenangkan kursi nomor satu tersebut, hal itu hanya akan menambah variabel baru ke situasi Laut Tiongkok Selatan yang sudah tidak stabil.