(Taiwan, ROC) --- Pemilihan umum Prancis telah usai, tetapi menyisakan kabut politik yang pekat. Alih-alih menghasilkan pemenang mutlak, pemilu ini justru melahirkan situasi rumit dengan tiga kekuatan politik utama, yakni sayap kiri, tengah, dan kanan ekstrem.
Ketiadaan partai dengan mayoritas absolut di parlemen membuka babak baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah politik Prancis.
Harapan publik akan datangnya Olimpiade Paris tahun depan kini dibayangi ketidakpastian politik. Pesta olahraga akbar yang terakhir kali digelar seabad silam di Prancis ini, berpotensi besar berlangsung di bawah bayang-bayang pemerintahan yang lumpuh.
Hasil mengejutkan mewarnai pemilu kali ini. Partai sayap kanan ekstrem "National Rally" yang digadang-gadang akan menang, justru tumbang akibat efek "bourrage (pembuangan suara)", di mana para pemilih enggan memilih partai ekstrem untuk mencegah mereka berkuasa.
Keuntungan justru berpihak pada aliansi sayap kiri "NUPES" (Nouvelle Union Populaire écologique et sociale) yang baru dibentuk. NUPES secara tak terduga meraih 188 kursi dari total 577 kursi parlemen, menjadikannya kekuatan terbesar di parlemen.
National Rally harus puas di posisi ketiga dengan 142 kursi, sementara koalisi tengah pimpinan Presiden Emmanuel Macron harus rela kehilangan kursi signifikan, hanya mampu mengamankan 161 kursi.
Situasi tripartite ini menempatkan Prancis pada persimpangan jalan. Pembentukan pemerintahan baru yang stabil dan penunjukan perdana menteri akan menjadi proses alot yang diwarnai negosiasi dan kompromi politik. Prancis kini memasuki babak baru yang belum terpetakan dalam sejarah Republik Kelima.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron (tengah). 圖/聯合報
Serukan Persatuan, Emmanuel Macron Tetap Ingin Kendalikan Pembentukan Pemerintahan
Meskipun hasil pemilu menunjukkan parlemen terpecah, tetapi Presiden Prancis Emmanuel Macron tetap berupaya memegang kendali dalam pembentukan pemerintahan baru.
Berpegang pada konstitusi yang memberinya hak prerogatif untuk menunjuk perdana menteri, Emmanuel Macron secara tradisional diharapkan memilih figur dari partai atau koalisi pemenang pemilu.
Namun, melalui surat terbuka yang diterbitkan media pada tanggal 10 Juli, Emmanuel Macron justru menyerukan pembentukan pemerintahan koalisi yang lebih luas, sebuah proses yang menurutnya "membutuhkan waktu".
Phillip Turle, editor urusan internasional France 24, berpendapat bahwa seruan Emmanuel Macron ini merupakan upaya untuk mengulur waktu. Emmanuel Macron, menurutnya, ingin menghindari kekacauan politik menjelang Olimpiade Paris yang akan segera digelar.
Namun, pernyataan Emmanuel Macron dalam surat terbukanya yang menegaskan "tidak ada pemenang" dalam pemilu ini, justru memicu amarah aliansi sayap kiri NUPES, peraih suara terbanyak.
NUPES sebelumnya telah menyatakan bahwa Emmanuel Macron seharusnya menunjuk salah satu tokoh mereka sebagai perdana menteri.
Direktur Pusat Studi Uni Eropa Taiwan, Su Hung-dah (蘇宏達), menilai surat terbuka Emmanuel Macron tersebut "menyinggung" NUPES dan menunjukkan keinginan kuatnya untuk tetap memegang kendali dalam pembentukan pemerintahan.
Mengenai siapa yang akan ditunjuk sebagai perdana menteri, Su Hung-dah berpendapat bahwa pemimpin partai sayap kiri "La France Insoumise" (LFI), Jean-Luc Mélenchon, kecil kemungkinannya untuk dipilih.
Jean-Luc Melenchon, yang dikenal dengan pandangan politiknya yang keras, seringkali melontarkan pernyataan kontroversial yang memicu perpecahan di internal sayap kiri.
Partai Sosialis, partai terbesar kedua dalam aliansi NUPES yang berhaluan moderat, seringkali bersitegang dengan LFI.
"Saya rasa kecil kemungkinan Jean-Luc Melenchon akan ditunjuk sebagai perdana menteri," ujar Su Hung-dah.
"Pandangan dan usulannya terlalu ekstrem kiri dan dianggap tidak realistis. Misalnya, pandangannya tentang Eropa, kebijakan luar negeri, reformasi sosial, reformasi universitas, dan reformasi ekonomi dianggap tidak layak. Selain itu, ia sendiri adalah figur yang kontroversial. Kita telah melihat bagaimana narasi kampanye sayap kanan ekstrem di putaran kedua adalah mencegah sayap kiri ekstrem meraih kekuasaan. Jika Emmanuel Macron menunjuk tokoh sayap kiri ekstrem sebagai perdana menteri, maka pada tahun 2027 kita akan menyaksikan persaingan antara sayap kiri ekstrem dan sayap kanan ekstrem. Saya rasa Emmanuel Macron tidak menginginkan hal itu," terang Su Hung-dah.
Jean-Luc Melenchon, yang dikenal dengan pandangan politiknya yang keras, seringkali melontarkan pernyataan kontroversial yang memicu perpecahan di internal sayap kiri. 圖/REUTERS
Kebijakan Pro-Taiwan Tak Terpengaruh, Tapi Tantangan Menanti Pemerintahan Baru Prancis
Ketidakpastian menyelimuti pembentukan pemerintahan baru Prancis. Selain Olivier Faure (pemimpin Partai Sosialis) dan Marine Tondelier (pemimpin Partai Hijau), beberapa nama lain dari La France Insoumise yang dianggap lebih moderat juga berpotensi menjadi kandidat perdana menteri.
Meskipun peta politik Prancis belum pasti, tetapi Su Hung-dah meyakini bahwa hal ini tidak akan berdampak signifikan terhadap strategi Indo-Pasifik Prancis, termasuk kebijakan pro-Taiwan, mengingat Emmanuel Macron masih menjabat sebagai presiden.
Kebangkitan Sayap Kiri dan Pergeseran Politik
Pemilu kali ini menandai kebangkitan kekuatan sayap kiri yang sempat terpecah belah. Keberhasilan NUPES menyatukan kembali kekuatan sayap kiri menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam menghadapi potensi perpecahan internal dan upaya Emmanuel Macron untuk memecah belah mereka.
Penulis dan mantan jurnalis Asiaweek di Paris, Luo Huei-jhen (羅惠珍), mengamati bahwa kemenangan blok sayap kiri menunjukkan bahwa "kekuatan sayap kiri belum mati" meskipun mengalami kekalahan telak pada tahun 2017.
Pada pemilihan presiden 2017, saat itu Presiden Francois Hollande (Partai Sosialis) tidak mencalonkan diri lagi, sebagian besar karena banyak tokoh senior Partai Sosialis bergabung dengan Emmanuel Macron. Hal ini menyebabkan Partai Sosialis, yang merupakan partai terbesar di sayap kiri, runtuh, dan memberi peluang bagi La France Insoumise, yang menolak untuk bergabung dengan Emmanuel Macron, untuk menjadi representasi sayap kiri dalam beberapa tahun terakhir.
Luo Huei-jhen menyoroti pergeseran kekuatan politik di internal sayap kiri. Dibandingkan dengan pemilihan parlemen tahun 2022, perolehan kursi La France Insoumise justru menurun, sementara Partai Sosialis, yang sempat terpuruk setelah ditinggalkan oleh para anggotanya yang bergabung dengan Emmanuel Macron, mulai bangkit kembali.
Namun, perbedaan di internal aliansi sayap kiri tidak dapat diabaikan, terutama tantangan yang ditimbulkan oleh Jean-Luc Melenchon terhadap proses pembentukan pemerintahan dan jalannya pemerintahan.
Harapan publik akan datangnya Olimpiade Paris tahun depan kini dibayangi ketidakpastian politik. Pesta olahraga akbar yang terakhir kali digelar seabad silam di Prancis ini, berpotensi besar berlangsung di bawah bayang-bayang pemerintahan yang lumpuh. 圖/REUTERS
Luo Huei-jhen menegaskan bahwa hal ini menjadi pelajaran berharga bagi Republik Kelima yang tidak memiliki tradisi negosiasi politik.
"Saya pikir ketidaksepakatan ini, meskipun disebabkan oleh perbedaan ideologi kiri-kanan yang kaku di masa lalu, kini harus diatasi," ujar Luo.
"Seperti yang dikatakan oleh wakil pemimpin redaksi Le Monde kemarin, Republik Kelima Prancis tidak memiliki DNA kompromi dalam peta politiknya. Namun kini, mereka justru harus belajar, mungkin dari Italia, bukan untuk mencari kompromi, tetapi untuk bernegosiasi."
Api Olimpiade akan segera tiba di Paris, sementara Republik Kelima terus dihadapkan pada tantangan politik baru di tengah harapan menyambut Olimpiade.