close
RTISISegera unduh Aplikasi ini
Mulai
:::

Biden atau Trump? Bagaimana Pandangan Beijing dan Moskow?

  • 19 July, 2024
Perspektif
Biden atau Trump? Bagaimana Pandangan Beijing dan Moskow? 圖/Rti

(Taiwan, ROC) --- Pemilihan presiden Amerika Serikat yang akan berlangsung pada bulan November mendatang akan menjadi ajang pertarungan ulang antara petahana dari Partai Demokrat, Joe Biden, dengan mantan presiden dari Partai Republik, Donald Trump.

Mengingat pengaruh besar kebijakan luar negeri AS terhadap berbagai belahan dunia, pemilihan ini menjadi sorotan global, khususnya preferensi Beijing dan Moskow, yang notabene adalah rival AS, terhadap calon presiden yang akan memenangkan kontestasi ini.

 

Kecewa dengan Periode Pertama Trump, Putin Secara Terbuka Mengatakan Lebih Memilih Biden untuk Terpilih Kembali

Biden dan Trump berhadapan dalam debat pertama mereka pada tanggal 27 Juni 2024, dengan isu kebijakan luar negeri menjadi salah satu topik utama. Media BBC News kemudian menelaah preferensi kedua negara rival AS ini terhadap calon presiden AS.

Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang dikenal kerap membuat kejutan, secara terbuka menyatakan pada bulan Februari lalu bahwa ia sebenarnya lebih memilih Biden untuk tetap menduduki kursi kepresidenan karena dianggap lebih "prediksibel".

Namun, editor berita Rusia dari media BBC, Steve Rosenberg, mengingatkan agar tidak begitu saja memercayai dukungan terbuka Putin tersebut.

Steve Rosenberg menganalisis bahwa hal ini bukan berarti terpilihnya kembali Biden akan memberikan keuntungan yang dijamin bagi Rusia, melainkan lebih karena Moskow merasa sangat kecewa dengan masa jabatan pertama Trump.

Pemerintah Rusia berharap hubungan Rusia-AS akan membaik di bawah kepemimpinan Trump, tetapi hal itu tidak pernah terwujud. Steve Rosenberg menunjukkan bahwa tidak ada jaminan bahwa kembalinya Trump ke Gedung Putih tidak akan membuat Moskow kembali merasakan kekecewaan yang sama.

Steve Rosenberg menambahkan bahwa siapa pun yang pada akhirnya menang, pemerintah Rusia akan mengamati dengan cermat tanda-tanda ketidakstabilan politik dan polarisasi setelah pemilihan AS, serta mencari cara untuk mengambil keuntungan dari situasi tersebut.

 

Sama-sama Keras terhadap Tiongkok, Biden dan Trump Berbeda dalam Pendekatan Diplomasi

Dalam hal Tiongkok, baik Biden maupun Trump sama-sama mengambil sikap keras terhadap Beijing dan menerapkan kebijakan ekonomi serupa untuk mengatasi kebangkitan Tiongkok, termasuk menaikkan tarif impor barang-barang murah dari Tiongkok.

Namun, wartawan BBC di Tiongkok, Laura Bicker, menunjukkan bahwa keduanya memiliki pendekatan yang sangat berbeda dalam menangani pengaruh regional Tiongkok.

Biden memperkuat hubungan dengan mitra regional, berharap untuk mengirimkan pesan yang jelas kepada Beijing yang semakin tegas melalui front persatuan. Sebaliknya, Trump lebih fokus pada apa yang dia anggap sebagai "kesepakatan terbaik".

Selama masa jabatannya, dia mengancam akan menarik pasukan AS dari Korea Selatan kecuali Seoul membayar lebih banyak uang kepada Washington.

 

Perbedaan Sikap terhadap Taiwan

Menurut laporan BBC, isu Taiwan merupakan perbedaan terbesar antara Biden dengan Trump.

Biden telah berulang kali menyatakan bahwa ia akan membela Taiwan jika Pemimpin Tiongkok Xi Jin-ping (習近平) memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer.

Sebaliknya, Trump pernah menuduh Taiwan merugikan perusahaan-perusahaan Amerika dan menyatakan penentangannya terhadap RUU yang memberikan bantuan kepada Taiwan. Hal ini menimbulkan keraguan di antara beberapa pihak mengenai kesediaannya untuk membantu Taiwan jika diperlukan.

 

Perang Dagang Baru vs. Perang Dingin Baru: Beijing Kesulitan Memilih

Media BBC menunjukkan bahwa Beijing mungkin tidak memiliki preferensi yang kuat antara Biden atau Trump sebagai pemenang pemilu November.

Beijing percaya bahwa gaya Trump yang tidak dapat diprediksi dapat melemahkan dan memecah belah sekutu AS di kawasan, yang akan menjadi keuntungan bagi Beijing. Namun, Trump juga dapat memicu perang dagang lainnya.

Di sisi lain, Beijing juga tidak terlalu antusias dengan empat tahun pemerintahan Biden. Para pemimpin puncak Partai Komunis Tiongkok yakin bahwa aliansi anti-Tiongkok yang giat dibangun Biden dapat menyebabkan Perang Dingin baru.

Bloomberg, mengutip pernyataan pejabat AS, melaporkan bahwa badan intelijen AS menilai bahwa Beijing tidak memiliki preferensi yang jelas antara Biden atau Trump menjelang debat pertama mereka.

Kesimpulannya, para pejabat Beijing tampaknya setuju dengan rekan-rekan mereka di Washington bahwa hubungan antara dua ekonomi terbesar dunia itu akan terus memburuk, meskipun ada peningkatan pertemuan tingkat tinggi baru-baru ini yang bertujuan untuk mengelola perbedaan mereka.

AS dan Tiongkok telah berselisih mengenai berbagai isu dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari teknologi hingga hak asasi manusia dan Laut Tiongkok Selatan.

"Sejujurnya, tidak satu pun dari mereka yang ideal," kata Gao Zhi-kai (高智凱), mantan diplomat Tiongkok. "Biden adalah seorang pejuang Perang Dingin yang tidak peduli jika dia menyeret dunia ke dalam konflik, sementara Trump dapat menjatuhkan sanksi dan tarif pada Tiongkok dalam mengejar agenda 'America First'-nya."

 

Pengamat yang Paling Terdampak: Ukraina

Selain itu, Ukraina, yang telah diinvasi oleh Rusia selama lebih dari dua tahun, bisa dibilang merupakan negara yang paling terpengaruh oleh hasil pemilu AS.

Bantuan yang diberikan Amerika Serikat dalam bentuk pendanaan dan persenjataan sangat penting bagi upaya Kyiv dalam melawan invasi Rusia. Namun, koresponden keamanan BBC, Gordon Corera, mencatat bahwa di Kyiv, kebanyakan orang tidak terlalu memperhatikan detail pemilu AS seperti yang diperkirakan banyak orang.

Gordon Corera mengatakan seorang warga Ukraina mengatakan kepadanya bahwa November terasa masih sangat jauh. Dengan banyak kota di Ukraina yang menghadapi peningkatan serangan Rusia dan pertempuran yang sedang berlangsung saat pasukan Ukraina berusaha untuk menghentikan kemajuan Rusia, ada kekhawatiran yang lebih mendesak di Ukraina daripada pemilu AS.

Ketika membahas Trump, para analis Ukraina mengetahui pembicaraan di bulan Juni tentang rencana kampanye Trump untuk mengakhiri perang di Ukraina. Dua penasihat senior Trump mengatakan lebih banyak bantuan militer AS untuk Kyiv hanya akan datang jika ada pembicaraan damai.

Beberapa pihak khawatir Trump dapat menekan Ukraina untuk menyetujui kesepakatan yang tidak disukainya, tetapi para ahli memperingatkan bahwa yang penting adalah apa yang dilakukan para pemimpin ketika mereka berada di Gedung Putih, bukan apa yang mereka katakan selama kampanye atau debat.

 

Penyiar

Komentar