(Taiwan, ROC) --- Vietnam, selama setahun terakhir, secara berturut-turut menjamu para pemimpin Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia. Hal ini menandakan upaya Vietnam dalam mendiversifikasi investasi dan rantai pasokannya, serta merespons persaingan geopolitik antar kekuatan besar dunia.
Setelah kunjungan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Tiongkok Xi Jin-ping (習近平), Vietnam pada akhir Juni lalu menerima kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Rangkaian kunjungan ini menunjukkan upaya negara Asia Tenggara tersebut dalam menyeimbangkan persaingan geopolitik sambil menarik investasi manufaktur asing dalam jumlah besar, dan dengan cerdik mengelola hubungan internasionalnya.
Sambutan Hangat Vietnam untuk Putin: Sebuah Pencapaian Hubungan Masyarakat
Setelah menandatangani perjanjian pertahanan bilateral dengan Korea Utara, Vladimir Putin tiba di Vietnam pada tanggal 20 Juni untuk kunjungan kenegaraan. Ia menandai kunjungan pertamanya ke negara Asia Tenggara tersebut sejak 2017.
Putin disambut dengan 21 tembakan salut oleh militer Vietnam dan berpelukan dengan dua pemimpin Partai Komunis Vietnam.
Rusia telah menjadi mitra dekat Vietnam sejak Perang Dingin, menjadi pemasok terbesar Hanoi untuk peralatan militer seperti kapal selam, dan kedua negara telah terlibat dalam proyek eksplorasi minyak dan gas bersama di Laut Tiongkok Selatan.
Selama kunjungan tersebut, kedua negara sepakat untuk memperdalam kemitraan strategis mereka dan menandatangani lebih dari selusin perjanjian di berbagai bidang, seperti pendidikan dan energi.
Rusia juga dapat membantu Vietnam membangun pusat ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir.
Meskipun kesepakatan Rusia-Vietnam tidak semewah kesepakatan Korea Utara, sambutan hangat yang diterima Vladimir Putin merupakan sebuah pencapaian hubungan masyarakat, terutama karena ia menghadapi pengucilan dari Barat dan surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas perang di Ukraina.
"Sambutan kemenangan Vladimir Putin di Hanoi akan sangat kontras dengan kemunduran Rusia baru-baru ini," kata Carlyle Thayer, profesor emeritus di Akademi Pertahanan Australia, merujuk pada konferensi perdamaian Ukraina baru-baru ini di Swiss dan putaran baru sanksi Uni Eropa terhadap Rusia yang menargetkan sektor gas alam cair (LNG) yang menguntungkan.
Diplomasi Bambu Vietnam: Bersikap Netral Aktif dan Bermanuver di Antara AS, Tiongkok, dan Rusia
Sambutan hangat untuk Vladimir Putin mencerminkan sikap independensi diplomatik yang telah diupayakan Vietnam selama bertahun-tahun.
"Vietnam memainkan permainan ini dengan cukup baik," kata Nguyen Khac Giang, peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, kepada media Financial Times.
Tidak seperti negara lain yang lebih pasif, Vietnam telah mempertahankan "kenetralan aktif".
"Hanoi tahu bahwa mereka harus secara aktif menyeimbangkan kekuatan yang berbeda, karena itu adalah cara Vietnam untuk mendapatkan keuntungan dari ketiga kekuatan besar tersebut. Jika tidak, mereka akan terseret ke dalam permainan politik tanpa kemampuan untuk mengubah arahnya," kata Nguyen Phu Trong.
Kebijakan luar negeri independen Vietnam yang diperintah komunis dapat ditelusuri kembali ke akhir Perang Dingin, ketika Hanoi memutuskan untuk berteman dengan semua negara.
Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, Nguyen Phu Trong, menyebut pendekatan ini sebagai "diplomasi bambu", dengan mengatakan bahwa bambu memiliki "akar yang kuat, batang yang kokoh, dan cabang yang fleksibel".
Meningkatkan Hubungan dengan AS, Memperkuat Posisi sebagai Pusat Manufaktur
Di bawah kepemimpinan Trong, Vietnam telah meningkatkan hubungannya dengan Amerika Serikat dan sekutunya seperti Australia, Jepang, dan Korea Selatan menuju kemitraan strategis komprehensif.
Ketika Presiden AS Joe Biden mengunjungi Hanoi September lalu, dia mengatakan peningkatan hubungan tersebut menandai perjalanan selama 50 tahun, dari konflik menuju normalisasi antara kedua mantan musuh tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, Vietnam juga telah menjadi tujuan yang disukai perusahaan teknologi seperti Apple yang ingin mendiversifikasi rantai pasokan mereka dari Tiongkok.
Namun demikian, Vietnam tidak memutuskan hubungan dengan mitra dagang terbesarnya, Tiongkok, atau pemasok senjata terbesarnya, Rusia.
Para analis mengatakan Partai Komunis Vietnam pragmatis dalam hubungan internasionalnya dan memahami pentingnya memiliki teman di Barat, terutama ketika mereka ingin memperkuat posisi negara itu sebagai pusat manufaktur utama.
Terdapat Perbedaan dengan Tiongkok, Vietnam Memanfaatkan AS dan Rusia sebagai Penyeimbang
Hanya tiga bulan setelah kunjungan Joe Biden ke Vietnam tahun lalu, Xi Jin-ping menyusul dengan kunjungannya sendiri dan menetapkan tujuan bersama untuk bekerja sama membangun komunitas dengan masa depan bersama Tiongkok-Vietnam yang memiliki makna strategis, meskipun kapal-kapal Vietnam dan Tiongkok sering bersitegang karena sengketa Laut Tiongkok Selatan.
Susannah Patton, direktur program Asia Tenggara di Lowy Institute, sebuah think tank yang berbasis di Sydney, mengatakan Hanoi telah cerdik dalam mengelola hubungannya dengan Beijing, mencapai keseimbangan yang tepat "antara perlawanan dan keselarasan".
Vietnam telah menggunakan hubungannya dengan Amerika Serikat dan Rusia untuk mengimbangi Tiongkok. "Vietnam mendapat manfaat dari sikap kebijakan luar negeri yang omni-directional dan menjaga hubungan dekat dengan banyak mitra," ujar Susannah Patton.
AS Khawatir dengan Kunjungan Putin, Vietnam Mengevaluasi Konsekuensinya dengan Hati-hati
Amerika Serikat telah menyatakan kekecewaannya atas kunjungan Putin ke Vietnam, tetapi mengatakan akan terus memperkuat hubungannya dengan Hanoi. Setelah kunjungan Putin, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, Daniel Kritenbrink, juga melakukan perjalanan ke Vietnam.
Murray Hiebert, peneliti senior untuk Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington, mengatakan bahwa meskipun ada kekhawatiran di Washington dan di antara sekutunya tentang kunjungan tersebut, Hanoi telah menghitung dengan benar bahwa mereka tidak akan menghadapi konsekuensi nyata.
Mengingat bahwa Washington sangat bergantung pada hubungan baik dengan Vietnam untuk melawan Tiongkok di kawasan itu, Hiebert mengatakan, "Saya tidak berpikir ini akan memiliki dampak jangka panjang... AS sering memberi mereka kelonggaran."