(Taiwan, ROC) --- Populisme (bahasa Inggris: populism), juga diterjemahkan sebagai paham kerakyatan, merujuk pada serangkaian posisi politik yang menekankan konsep "rakyat" dan berlawanan dengan "elit". Populisme sering dikaitkan dengan anti-establishment dan anti-politik.
Dalam ilmu sosial, populisme adalah salah satu istilah yang paling tidak memiliki definisi yang tepat. Ini dapat dianggap sebagai filsafat politik atau bahasa politik. Ada banyak diskusi akademis mengenai populisme, tetapi jarang dianggap sebagai konsep akademis yang berdiri sendiri, karena bentuk populisme terlalu beragam dan sulit dipahami.
Populisme biasanya dianggap sebagai antonim dari elitis. Setelah sistem demokrasi ditemukan di kota-kota kuno Yunani, muncul perdebatan mengenai siapa yang harus memegang kekuasaan politik, apakah elit, bangsawan, atau rakyat biasa.
Pendukung populisme mendukung demokrasi langsung dan demokrasi akar rumput, mereka percaya bahwa elit politik (sekarang atau di masa depan) hanya mengejar kepentingan mereka sendiri, korup, dan tidak dapat dipercaya, dan berharap bahwa rakyatlah yang langsung memutuskan urusan politik.
Pendekatan ideasional untuk memahami populisme mendefinisikannya sebagai ideologi yang menampilkan "rakyat" sebagai kekuatan moral yang baik, dan berlawanan dengan "elit" yang digambarkan sebagai korup dan egois.
Definisi "rakyat" oleh kaum populis bervariasi, dapat didasarkan pada kelas sosial, ras, atau etnisitas, sementara "elit" sering digambarkan sebagai entitas homogen yang mencakup lembaga politik, ekonomi, budaya, dan media yang dituduh mengutamakan kepentingan diri sendiri, perusahaan besar, negara asing, atau imigran di atas kepentingan "rakyat".
Partai politik dan gerakan sosial populis biasanya dipimpin oleh tokoh karismatik yang mengklaim sebagai "juru bicara rakyat". Menurut pendekatan ideasional, populisme sering kali bergabung dengan ideologi lain seperti nasionalisme, liberalisme, atau sosialisme. Oleh karena itu, populisme dapat ditemukan di berbagai spektrum politik, baik kiri maupun kanan, menghasilkan populisme kiri dan populisme kanan.
Populisme tidak selalu berarti menggunakan cara-cara ekstrem dan kekerasan. Cara-cara moderat termasuk berpidato, duduk diam, atau mogok makan. Dan belakangan ini, metode moderat lebih sering berhasil saat protes dilangsungkan.
圖/indoprogress
Klasifikasi
Populisme dapat dibagi menjadi dua kategori utama, populisme kiri dan populisme kanan. Selain itu, ada juga populisme yang tidak termasuk dalam kedua kategori tersebut, seperti populisme sentris atau populisme posisi ketiga.
Populisme Kiri
Populisme kiri adalah seperangkat filosofi politik yang menolak konsensus politik yang ada, menggabungkan anti-liberalisme ekonomi dan anti-elitisme. Retorikanya sering mencakup anti-establishment dan oposisi terhadap pihak berkuasa, biasanya mewakili kepentingan kelompok masyarakat kelas bawah.
Disebut "kiri" karena mereka mendukung kesetaraan sosial dan program pemerintah terkait, fokus pada redistribusi kekayaan dan mengatasi masalah kesenjangan sosial, anti-kapitalisme dan anti-globalisasi, serta mendukung demokrasi ekonomi, globalisasi alternatif, dan multikulturalisme.
Populisme kiri bertentangan dengan populisme kanan, konservatisme, dan pandangan anti-imigran.
Populisme Kanan
Populisme kanan, di sisi lain, lebih sering dikaitkan dengan nasionalisme, anti-imigrasi, dan pandangan konservatif sosial. Mereka sering menggunakan retorika yang menekankan kedaulatan nasional, identitas budaya, dan sering kali mencerminkan pandangan proteksionis dalam kebijakan ekonomi.
Populisme kanan juga mengkritik elit politik dan ekonomi, tetapi sering kali dengan fokus yang lebih besar pada isu-isu seperti keamanan, ketertiban, dan nilai-nilai tradisional.
圖/populis id
Populisme Sentris dan Posisi Ketiga
Selain populisme kiri dan kanan, ada juga populisme yang tidak mudah diklasifikasikan sebagai kiri atau kanan, yang disebut populisme sentris atau populisme posisi ketiga.
Populisme jenis ini dapat mencampurkan elemen-elemen dari kedua spektrum politik kiri dan kanan, dan sering kali berfokus pada pragmatisme dan solusi praktis untuk masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, tanpa komitmen ideologis yang kuat terhadap salah satu sisi.
Dalam semua variasi ini, populisme tetap menjadi fenomena politik yang signifikan, mencerminkan ketidakpuasan dengan elit yang berkuasa, dan aspirasi untuk perubahan yang lebih besar di masyarakat.
Asal Usul dan Sejarah Populisme Kanan
Populisme kanan, juga dikenal sebagai nasionalisme populis atau nasionalisme kanan, adalah filosofi politik yang menggabungkan politik kanan dengan anti-elitisme.
Disebut "kanan" karena menolak kesetaraan sosial dan program pemerintah terkait, menentang integrasi sosial, dan sering kali memiliki pandangan nativis yang implisit. Populisme menarik perhatian "rakyat umum" melalui penentangannya terhadap elit.
Kata "populisme" berasal dari bahasa Latin "populus", yang berarti "rakyat" atau "massa". Biasanya digunakan sebagai lawan dari elitisme, aristokrasi, oligarki, atau plutokrasi.
Dalam sejarah Romawi Kuno, "populus" merujuk pada warga negara Romawi yang memiliki hak kewarganegaraan. Pada masa Republik Romawi, ada sekelompok politisi yang dikenal sebagai Populares, termasuk Tiberius Gracchus dan lainnya, yang mempromosikan penggunaan majelis rakyat Romawi sebagai pengganti Senat untuk pengambilan keputusan.
Mereka berlawanan dengan Optimates, politisi yang mendukung kekuasaan Senat dan menekankan bahwa hanya elit aristokrat yang memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk memerintah. Optimates berpendapat bahwa rakyat kurang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk memerintah dan mudah dipengaruhi, sehingga menyerahkan kekuasaan kepada rakyat akan membawa kepada mobokrasi atau pemerintahan oleh massa.
Populisme kanan sering kali muncul dalam konteks ketidakpuasan dengan sistem politik dan ekonomi yang ada, serta perasaan bahwa kepentingan rakyat biasa diabaikan oleh elit yang berkuasa. Di banyak negara, gerakan populis kanan telah mendapatkan dukungan yang signifikan, mencerminkan keinginan untuk perubahan dan pemulihan kontrol atas kebijakan domestik.
Populisme di Rusia
Pada abad ke-19, istilah "populisme" pertama kali muncul di Rusia, dengan gerakan yang dikenal sebagai "narodniki" atau "populis". Gerakan ini dicirikan oleh dukungan terhadap rakyat biasa dan penghinaan terhadap elit.
Kaum intelektual populis pernah melancarkan gerakan "berjalan ke rakyat" mencoba bekerja sama dengan masyarakat lapisan bawah untuk menyelesaikan masalah sosial. Namun, kaum aristokrat yang berkuasa menggunakan istilah ini dengan konotasi negatif untuk menggambarkan berbagai kelompok seperti kaum liberal, demokrat, sosialis, dan anarkis. Dalam konteks ini, "populis" adalah istilah merendahkan yang biasanya ditolak oleh mereka yang diberi label demikian.
Setelah sistem demokrasi mulai terbentuk dan aristokrasi lama mulai menghilang, elit baru mengendalikan pemerintah melalui demokrasi perwakilan dan sistem birokrasi. Makna "populisme" pun mulai berubah. Elit yang berkuasa menggunakan istilah ini untuk menyebut mereka yang mendukung demokrasi langsung dan demokrasi akar rumput.
Elit menganggap bahwa rakyat biasa kurang memiliki pengetahuan untuk membuat keputusan, mudah terpengaruh oleh emosi, dan oleh karena itu, kebijakan sebaiknya ditentukan oleh para ahli yang kompeten.
Menurut pandangan ini, kekuasaan rakyat terbatas pada hak memilih. Setelah memilih pemimpin politik, mereka tidak seharusnya terlibat langsung dalam pengambilan keputusan politik.
Populisme di Benua Amerika
Di Argentina, kepresidenan Juan Perón adalah contoh menonjol dari gerakan populis, yang dikenal sebagai Peronisme. Perón menggunakan retorika yang menekankan kesejahteraan rakyat biasa dan melawan elit politik dan ekonomi.
Peronisme menggabungkan unsur-unsur nasionalisme, pekerja, dan sosialisme, serta menciptakan program-program sosial yang signifikan untuk mendukung kelas pekerja dan masyarakat miskin.
Populisme di Benua Asia
Sebuah survei dinamika demokrasi Asia sekitar tahun 2019 menunjukkan bahwa masyarakat di beberapa negara atau wilayah seperti Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan memiliki sentimen anti-establishment yang sangat tinggi dan ketidakpuasan yang mendalam terhadap ketidaksetaraan ekonomi. Dalam konteks ini, berbagai bentuk populisme, termasuk populisme kiri dan kanan, serta bentuk populisme lainnya, memiliki kondisi yang matang untuk berkembang.
Di Thailand, Thaksin Shinawatra memanfaatkan citra "rakyat" untuk menjadi Perdana Menteri pada tahun 2001. Selama menjabat, ia melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan rakyat miskin, seperti asuransi kesehatan universal.
Meskipun digulingkan oleh militer pada tahun 2006, tetapi Thaksin tetap populer di kalangan masyarakat miskin di Thailand karena kebijakan-kebijakan pro-rakyatnya.