close
RTISISegera unduh Aplikasi ini
Mulai
:::

Situasi Semenanjung Korea Lebih Berbahaya Semenjak Tahun 1950

  • 23 February, 2024
Perspektif
Situasi Semenanjung Korea Lebih Berbahaya Semenjak Tahun 1950

(Taiwan, ROC) —- Sejak pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, secara resmi menetapkan bahwa hubungan antara Korea Selatan dengan Korea Utara tidak akan pernah bersatu, serta meningkatkan ancaman nuklirnya, komunitas internasional sangat memperhatikan apakah Kim Jong Un benar-benar mempertimbangkan untuk memulai perang melawan Korea Selatan.

 

Konflik di Semenanjung Korea Bisa Terjadi Kapan Saja

Pada malam tahun baru, Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, menyatakan bahwa Korea Selatan dan Korea Utara tidak akan pernah bersatu, dan menyebutkan bahwa kemungkinan perang di Semenanjung Korea adalah kenyataan yang sudah ditetapkan.

Dengan pembaruan sikapnya terhadap hubungan kedua Korea, tindakan Pyongyang diketahui telah aktif sejak awal tahun 2024. Tidak hanya meluncurkan peluru kendali yang memaksa Korea Selatan untuk mengevakuasi penduduk dari dua pulau, tetapi Korea Utara juga mempercepat pengujian senjata mereka, termasuk sistem senjata nuklir bawah air dan rudal balistik hipersonik bertenaga padat, yang mana ini tentu meningkatkan ketegangan geopolitik di Asia Timur Laut.

Media Inggris, BBC, mengutip pernyataan mantan analis CIA, Robert Carlin, dan ahli senjata nuklir yang sering berkunjung ke Korea Utara, Siegfried Hecker, dalam artikel di situs "38 North", yang menuliskan, "Kami percaya bahwa, seperti yang dilakukan kakeknya, Kim Il Sung, pada tahun 1950, Kim Jong Un telah membuat keputusan strategis untuk memulai perang." Dan yang patut diketahui bahwa Perang Korea meletus di Semenanjung Korea pada tahun 1950.

 

Pandangan Para Ahli Berbeda-beda

Pandangan ini telah memicu perdebatan di Washington dan Seoul serta di komunitas internasional tentang apakah Kim Jong Un benar-benar mempertimbangkan untuk memulai perang. Christopher Green dari International Crisis Group berpendapat bahwa menempatkan seluruh rezim dalam risiko konflik yang berpotensi bencana, tidak sesuai dengan gaya orang Korea Utara.

Seong-Hyon Lee dari George HW Bush Foundation menyatakan bahwa Pyongyang menjual peluru kendali ke Rusia untuk perang di Ukraina, dan jika Korea Utara mempersiapkan perang, maka mereka tidak akan mampu menanggung beban yang dibutuhkan di medan perang.

Namun, apakah perang benar-benar sudah dekat? Terkait kemungkinan perang di Semenanjung Korea yang telah meningkat ke level tertinggi, maka Menteri Pertahanan Korea Selatan, Shin Won-sik, membantahnya sebagai hal yang terlalu berlebihan.

Ia berpendapat bahwa retorika seperti itu justru bermain dalam perang psikologis Korea Utara. Mantan pejabat intelijen Korea Utara di National Intelligence Council, Sydney Seiler, bahkan menyatakan bahwa dia tidak melihat kemungkinan perang antara kedua Korea dalam waktu dekat, karena Korea Utara belum siap untuk itu.

 

Peran Donald Trump Bagi Kestabilan Semenanjung Korea

Laporan dari Reuters menyoroti bahwa salah satu faktor yang menambah ketidakpastian konflik Korea Utara adalah pemilihan presiden Amerika Serikat yang akan berlangsung pada November 2024. Mantan Presiden AS, Donald Trump, mungkin akan kembali bersaing dengan Presiden Joe Biden, seperti pada pemilihan tahun 2020 silam.

Selama masa jabatannya, Donald Trump pernah mengancam akan menarik pasukan AS dari Korea Selatan. Setelah pertemuan bersejarah dengan Kim Jong Un di Singapura pada Juni 2018, Trump dan Kim pun memulai komunikasi diplomatik yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk bertukar surat. Dengan Trump, Kim bahkan pernah mengatakan, "Kami jatuh cinta."

Media AS 'Politico' sebelumnya melaporkan bahwa Trump sedang mempertimbangkan, jika kembali terpilih, maka dirinya akan membiarkan Korea Utara mempertahankan senjata nuklirnya, dan memberi insentif finansial kepada Pyongyang sebagai imbalan menghentikan pembuatan senjata baru.

Laporan ini menyatakan bahwa tujuan Donald Trump adalah untuk menghindari pemborosan waktu dalam negosiasi senjata yang tidak produktif, dan lebih fokus pada persaingan dengan Tiongkok. Namun, Trump telah membantah klaim tersebut.

Kenyataannya, siapa pun yang nantinya menempati Gedung Putih akan menghadapi tantangan dari rezim Pyongyang yang semakin aktif. Menteri Pertahanan Korea Selatan, Shin Won-sik, menyatakan bahwa Korea Utara mungkin meningkatkan tekanannya pada pemilihan umum Korea Selatan pada April 2024, dan pemilihan presiden AS pada November 2024.

Pakar Korea Utara, Seong-Hyon Lee, berpendapat bahwa ini memberikan kesempatan bagi Kim Jong Un untuk berprovokasi. Carlin dan Hecker, dua pakar lainnya, menyatakan bahwa Korea Utara telah mengubah pemikiran strategisnya secara mendasar, dan setelah pembicaraan dengan pemerintahan Trump gagal, maka mereka meninggalkan tujuan untuk memperbaiki hubungan dengan Washington, dan beralih memperkuat hubungan dengan Tiongkok dan Rusia, serta memperkeras sikapnya terhadap Korea Selatan.

 

Korea Utara yang Kian Provokatif

Banyak pengamat berpendapat bahwa risiko yang lebih besar adalah konflik perbatasan atau insiden kecil tetapi mematikan lainnya. Seorang mantan penasihat keamanan pemerintah Jepang menyatakan bahwa Korea Utara mungkin akan "mengambil risiko," seperti melakukan tembakan di dekat perbatasan laut yang disengketakan pada awal tahun ini, atau seperti insiden tahun 2010 ketika mereka menenggelamkan kapal perang Korea Selatan.

Ankit Panda, pakar dari Carnegie Endowment for International Peace, berpendapat bahwa secara umum, ia lebih khawatir akan serangan terbatas terhadap Korea Selatan, di mana serangan tersebut akan menargetkan wilayah atau kekuatan militer Korea Selatan, meski dengan cakupan yang terbatas.

Penelitian dari wadah pemikir Amerika Serikat, "Atlantic Council", pada November tahun lalu menunjukkan bahwa daya pencegahan sekutu sedang "melemah". Meskipun kemungkinan pecahnya perang besar sangat kecil, tetapi Korea Utara mungkin lebih berani melakukan tindakan militer yang lebih agresif untuk meningkatkan pengaruhnya atau melemahkan hubungan antara Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Asia-nya.

Perubahan kemampuan serta niat militer Korea Utara dan Tiongkok mungkin akan meningkatkan risiko strategi pencegahan Amerika Serikat dan Korea Selatan menjadi tidak efektif dalam 10 tahun ke depan. Dengan demikian, aliansi Amerika Serikat-Korea Selatan harus mengambil langkah besar untuk memperkuat daya pencegahan mereka.

Penyiar

Komentar