(Taiwan, ROC) --- Beberapa kebun binatang di Amerika Serikat baru-baru ini secara berturut-turut mengembalikan panda ke Tiongkok, membuat pertanyaan tentang apakah 'diplomasi panda' antara AS dengan Tiongkok dapat berlanjut. Pasca pertemuan Biden-Xi pada November lalu, membuat hubugan AS-Tiongkok mencair perlahan.
Dan panda dianggap sebagai indikator untuk mengamati perkembangan selanjutnya dari hubungan AS dengan Tiongkok.
Pada tanggal 10 November 2023 kemarin, Kebun Binatang Nasional Smithsonian di Washington, D.C., mengembalikan tiga panda ke Tiongkok, dikarenakan masa sewa yang akan berakhir.
Ini juga mengakhiri sejarah puluhan tahun dari kebun binatang ini dalam merawat panda. Langkah ini kemudian memicu kekhawatiran bahwa 'diplomasi panda' yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun antara AS dengan Tiongkok mungkin akan terhenti.
Setelah tiga panda di Washington dikembalikan ke Tiongkok, hanya ada empat panda yang tersisa di Kebun Binatang Atlanta di Amerika Serikat. Jika kontrak sewa yang berakhir tahun depan tidak diperpanjang, keempat panda ini juga akan dikembalikan ke Tiongkok, dan jumlah panda di Amerika Serikat akan menjadi nol.
Sejarah dan Evolusi Diplomasi Panda
Menurut Wikipedia, sejarah diplomasi panda Tiongkok dapat dilacak kembali ke abad ketujuh pada masa pemerintahan Kaisar Wu Ze-tian (武則天) dari Dinasti Tang. Berdasarkan catatan sejarah, Wu Ze-tian sempat memberikan dua panda sebagai hadiah kepada Jepang.
Pemimpin modern Tiongkok lalu mewarisi metode diplomasi ini. Pada tahun 1972, saat Presiden AS Richard Nixon melakukan kunjungan bersejarah ke Tiongkok, pemimpin Tiongkok saat itu, Mao Ze-dong (毛澤東), memberikan sepasang panda kepada AS sebagai simbol persahabatan antar negara. Dua panda ini segera menjadi bintang paling populer di kebun binatang AS, menarik kerumunan besar yang ingin melihat mereka.
Setelah itu, Beijing melihat potensi besar yang dimiliki panda dalam diplomasi dan ekonomi. Mereka mulai menandatangani program penelitian kerja sama konservasi spesies terancam punah dengan kebun binatang di berbagai negara.
Selama beberapa dekade terakhir, Tiongkok telah menyewakan panda melalui kontrak. Negara penerima akan membayar biaya tahunan antara US$500.000 hingga US$1 juta ke Tiongkok, dan menetapkan bahwa setiap bayi panda yang lahir di luar negeri adalah properti milik Tiongkok.
Setelah Xi Jin-ping (習近平) menjabat pada tahun 2014, diplomasi panda lalu ditingkatkan. Xi Jin-ping telah menyewakan puluhan panda ke negara-negara Eropa. Pada tahun lalu, Tiongkok pertama kali menyewakan sepasang panda ke negara tuan rumah penyelenggara Piala Dunia, Qatar.
Menurut Associated Press, melalui proyek konservasi spesies terancam punah, Partai Komunis Tiongkok berhasil meminjamkan 65 panda besar mereka ke 19 negara.
Dengan Memburuknya Hubungan dengan Negara-negara Barat, Tiongkok Mengadopsi 'Diplomasi Panda Punitif'
Selama 20 tahun terakhir, Tiongkok tidak lagi menyewakan lebih banyak panda ke Amerika Serikat, yang menyebabkan jumlah panda yang dimiliki AS menurun, dari puncaknya sebanyak 15 ekor.
Pengamat senior Tiongkok menunjukkan bahwa ini mencerminkan sebuah tren, yaitu meningkatnya ketegangan diplomatik antara Beijing dengan beberapa pemerintah negara-negara Barat.
Seiring dengan berakhirnya perjanjian sewa, Tiongkok secara bertahap menarik kembali panda dari kebun binatang di negara-negara Barat.
Dennis Wilder, peneliti senior pada Inisiatif Dialog Global AS-Tiongkok di Universitas Georgetown, menyebut tren ini sebagai 'diplomasi panda punitif'.
Dia menunjukkan bahwa selain AS, kebun binatang di Skotlandia juga baru-baru ini mengembalikan dua panda terakhir Inggris ke Tiongkok setelah kontrak sewa berakhir. Australia juga menghadapi kedaluwarsa kontrak sewa panda mereka.
Kontroversi Kebun Binatang Memphis Menyoroti Memburuknya Hubungan AS-Tiongkok
Tidak hanya itu, ketegangan dalam hubungan AS-Tiongkok juga berimbas pada panda. Kematian mendadak panda "Le Le 樂樂" di Kebun Binatang Memphis pada bulan Februari tahun ini memicu kecaman dari publik Tiongkok di jejaring sosial.
Mereka mengkritik pihak kebun binatang atas perlakuan buruk terhadap Le Le dan temannya, "Ya Ya 丫丫", dan menganggap insiden ini sebagai simbol intimidasi dan penindasan AS terhadap Tiongkok.
Meskipun para ahli Tiongkok kemudian mengkonfirmasi bahwa kedua panda tersebut tidak mengalami penyalahgunaan, ternyata hal itu tidak cukup untuk meredakan kemarahan publik Tiongkok.
Kebun Binatang Memphis akhirnya mengembalikan Ya Ya ke Tiongkok setelah kontrak sewa berakhir pada bulan April.
Apakah Diplomasi Panda AS-Tiongkok Akan Dihidupkan Kembali Pasca Pertemuan Biden-Xi?
Namun, hubungan AS dengan Tiongkok tampaknya menunjukkan tanda-tanda menghangat belakangan ini. Presiden AS Joe Biden dan Pemimpin Tiongkok Xi Jin-ping mengadakan pertemuan puncak di sela-sela Konferensi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) yang diadakan di San Francisco pada bulan November tahun ini.
Ini merupakan pertemuan pertama bagi kedua pemimpin sejak KTT di Bali pada November tahun lalu. Ini juga menjadi kunjungan pertama Xi Jin-ping ke Amerika Serikat sejak tahun 2017.
Meskipun kedua pemimpin masih memiliki perbedaan pendapat dalam isu-isu seperti Taiwan, masing-masing pihak mempertahankan pendapatnya sendiri.
Mereka sepakat untuk memulai kembali kerja sama dalam beberapa isu, termasuk memulihkan dialog militer untuk mencegah insiden antara AS dan Tiongkok, serta kesepakatan Tiongkok untuk memerangi produksi dan ekspor fentanil yang sangat diperhatikan oleh AS.
Tak lama setelah pertemuan Biden-Xi berakhir, Xi Jin-ping dalam pidato di sebuah pesta secara mengejutkan mengusulkan ide untuk melanjutkan 'diplomasi panda' antara AS dengan Tiongkok.
Xi Jin-ping menyatakan bahwa dirinya paham jika ada banyak orang AS yang tidak ingin berpisah dengan panda, mengatakan, "Panda adalah duta persahabatan antara rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat. Kami bersedia melanjutkan kerja sama konservasi panda dengan Amerika Serikat."
Stephen Orlins, Ketua Komite Nasional Hubungan AS-Tiongkok (National Committee on U.S.-China Relations), berpendapat bahwa mengirim panda ke Amerika Serikat merupakan sebuah gestur yang 'tidak menimbulkan biaya nyata' bagi Tiongkok, dan ia menganggapnya 'memiliki simbolisme yang penting'.