(Taiwan, ROC) --- Organisasi Hamas, Palestina, melancarkan serangan mendadak terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober 2023. Akibatnya, konflik antara kedua belah pihak meningkat tajam.
Peristiwa di atas telah menyebabkan ribuan orang terluka dan tewas, serta jutaan orang terpaksa mengungsi. Melihat tragedi yang terjadi satu demi satu, beberapa pihak mulai bertanya, ke mana arah masa depan dari konflik Israel-Palestina akan berjalan?
Media Taiwan pun kemudian mewawancarai warga Israel di Taiwan, warga Taiwan yang tinggal di Israel, serta para cendekiawan, wartawan, dan seniman yang pernah mengunjungi Israel dan Palestina, untuk menanyakan prediksi mereka tentang konflik Israel-Palestina, serta makna dan pelajaran apa yang dapat diambil Taiwan dari konflik ini.
Meski Berusaha Menghancurkan Hamas, Israel Tidak Dapat Bertindak Secara Sembrono
Sejak organisasi Hamas melancarkan serangan mendadak terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 lalu, hingga hari ini, belum ada tanda-tanda gencatan senjata dalam konflik Israel-Palestina.
Tao Ya-lun (陶亞倫), seniman yang pernah mengunjungi Israel dan Palestina, memberikan prediksi bahwa Israel sedang menggunakan kesempatan langka ini untuk melakukan dua hal sekaligus.
Tao Ya-lun mengatakan, "Hal pertama adalah, manfaatkan waktu ini untuk mengusir seluruh rakyat Palestina dari Gaza, lebih baik lagi jika mereka melarikan diri ke Mesir. Saat ini, semua pengungsi Palestina terkonsentrasi di selatan Gaza, dan kawasan utara perlahan-lahan akan dikosongkan. Israel pasti akan menduduki tempat itu. Poin kedua adalah, mengusir seluruh Hamas dari daratan Israel dengan sekali jalan. Bagi Israel, ini adalah kesempatan langka yang belum pernah ada sebelumnya. Pemerintah Israel akan langsung menghancurkan, bahkan jika harus menewaskan para sandera. Tentu saja di hadapan banyak media, mereka berbicara tentang kemanusiaan, tetapi saya pikir mereka akan melakukannya seperti ini. Pemerintah terpaksa akan mengorbankan beberapa ratus sandera, tetapi mereka akan memperoleh kemungkinan perdamaian dan stabilitas jangka panjang selama beberapa dekade ke depan, mereka akan mempertimbangkan hal ini."
Wang Guan-yun (王冠云), seorang cendekiawan Taiwan yang sedang menempuh program doktoral di Kanada dan mempelajari Palestina, setuju dengan pendapat ini. Dia percaya bahwa Israel tidak akan melakukan apa pun yang merugikan mereka sendiri.
Kuo Su-feng (郭淑鳳), seorang jurnalis senior yang telah berbasis di Israel selama lebih dari 10 tahun, juga percaya bahwa skenario pertama yang mungkin terjadi dalam konflik Israel-Palestina adalah Israel mengabaikan tekanan internasional dan melakukan apa pun yang mereka inginkan untuk sepenuhnya menghancurkan kekuatan Hamas, tidak peduli berapa biayanya, mereka akan membom Jalur Gaza sepenuhnya.
Namun, Kuo Su-feng menambahkan bahwa negara-negara seperti Iran, Suriah, dan Lebanon kemungkinan besar tidak akan duduk diam. Di sisi lain, jika Israel mengalami banyak korban, maka anggota keluarga dari para tentara mungkin tidak dapat menanggung pukulan tersebut dan meminta pemerintah untuk berhenti berperang.
Kuo Su-feng mengatakan, "Pertama-tama, sangat sulit bagi Israel untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan, yang lebih mungkin adalah, saya kira, dalam satu atau dua minggu pertama Israel akan melakukan semua yang mereka ingin lakukan. Mereka mungkin tidak peduli dengan apa pun selama satu atau dua minggu pertama, mereka hanya akan membombardir dengan gencar dan kemudian menyerbu untuk menyelamatkan para sandera. Tetapi setelah satu atau dua minggu, mereka akan mengevaluasi, baik itu karena korban yang berat, tekanan internasional yang besar, atau berbagai alasan lain. Mereka akan mengevaluasi, dan saat itulah mereka akan mulai berbicara tentang gencatan senjata, karena pada kenyataannya perang itu sangat mahal, dan kedua, itu juga memberikan dampak besar pada ekonomi Israel."
Faktanya, spekulasi-spekulasi ini juga sejalan dengan informasi yang dirilis oleh pemerintah Israel. Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant pada tanggal 22 Oktober 2023, juga menyatakan bahwa perang bisa berlangsung selama satu bulan, dua bulan, atau bahkan tiga bulan, tetapi dia percaya bahwa ini akan menjadi perang terakhir antara Israel dengan Hamas, karena "setelah itu tidak akan ada lagi Hamas".
Pria dan Wanita di Militer, Pantaskan? Jurnalis Senior Israel: Ditempatkan dengan Benar, Siapa Pun Bisa Cocok untuk Militer
Apa pelajaran dan makna yang bisa diambil Taiwan dari konflik Israel-Palestina? Menurut pengamatan Kuo Su-feng, orang Israel selalu sadar akan keberadaan musuh.
Sebaliknya, Taiwan kurang memiliki kesadaran dalam persiapan perang, baik dari segi anggaran pertahanan maupun jumlah prajurit.
Kuo Su-feng mengingatkan bahwa jika Taiwan menempatkan perlindungan negara dan pertahanan sebagai prioritas utama, dan memerlukan penambahan prajurit wanita untuk memperluas pasukan, maka infrastruktur fisik dan non-fisik di barak militer sebaiknya segera diperbaiki.
Kuo Su-feng mengatakan, "Jika Anda menyadari bahwa Anda memerlukan prajurit wanita, maka Anda harus memperbaiki peralatan Anda untuk memenuhi kebutuhan itu. Jika Anda berpikir bahwa pria dan wanita bersama-sama di militer itu tidak nyaman, lalu bagaimana dengan pria bersama pria? Masalah juga akan muncul, bukan? Baik itu pelecehan seksual, intimidasi seksual, masalah pasti selalu akan ada. Jadi, bukan berarti masalah hanya muncul karena ada prajurit wanita, tapi masalah akan ada selama ada orang. Di sisi lain, saya pikir, Israel menggunakan banyak wanita di militer untuk tugas-tugas yang mungkin tidak Anda kira sebelumnya. Prajurit wanita dapat mengajarkan cara mengoperasikan tank, prajurit wanita dapat duduk di depan monitor dan memperhatikan dengan cermat apakah ada invasi di perbatasan. Karena ada penelitian yang mengatakan bahwa wanita lebih fokus dan cermat dalam hal ini, mereka akan segera menyadari jika ada pergerakan, sedangkan pria mungkin tidak sebaik itu. Jadi, sebenarnya wanita dapat melakukan hal-hal yang khusus untuk mereka."
Kuo Su-feng percaya bahwa terlepas dari jenis kelamin yang ada, selama ditempatkan dengan benar, kinerja di militer bisa sangat menonjol. Dia menunjukkan bahwa jika seorang wanita cukup kuat, maka dia cocok untuk berada di medan perang.
Sebaliknya, jika seorang pria tidak memiliki kekuatan fisik, maka dia juga bisa menjadi dokter militer atau menganalisis intelijen. Sebenarnya, setiap orang ketika menjadi prajurit bisa menemukan posisi yang cocok dengan kemampuan mereka.
Belajar dari Konflik Israel-Palestina, Orang Taiwan Perlu Belajar Hidup di Masa Kini dan Meningkatkan Solidaritas Nasional
Di sisi lain, perwakilan Yayasan Nasional Israel di Taiwan, Chung Yi-shan (鍾宜珊), menunjukkan bahwa sifat nasionalisme Israel patut dicontoh oleh Taiwan, mereka sangat bersatu dan memiliki kesadaran nasional yang kuat.
Dia merasa bahwa Taiwan bisa merenungkan untuk apa mereka berperang dan bagaimana Taiwan dapat meningkatkan solidaritas itu sendiri.
Israel Mega (nama pena), seorang blogger wisata asal Taiwan yang tinggal di Israel, juga sangat terkesan dengan solidaritas warga Israel.
Dia mengatakan, "Solidaritas di Israel sangat kuat, meskipun banyak orang mungkin bertanya ‘Mengapa badan intelijen kita gagal hari itu?’, ‘Mengapa kita tidak tahu ada konspirasi besar yang akan menyerang kita?’, ‘Dimana tentara kita? Mengapa butuh hampir 10 jam sebelum tentara muncul?’ Ada banyak pertanyaan, tapi untuk melindungi negara mereka, mereka bersedia menunda pertanyaan-pertanyaan ini, untuk bersatu dan mengalahkan musuh bersama terlebih dahulu. Itu adalah solidaritas orang Israel. Saya pikir, apa yang bisa dipelajari oleh Taiwan adalah, apakah kita memiliki rasa solidaritas yang sama? Jika suatu hari negara kita dalam bahaya, apakah para pemuda Taiwan yang berada di luar negeri, yang telah menerima pelatihan militer, bersedia naik pesawat dan kembali untuk berperang demi negara mereka? Atau apakah ketika negara berperang, yang terpikirkan oleh orang-orang adalah, ada penerbangan apa yang bisa cepat terbang ke Kanada atau ke mana? Saya pikir, apa yang bisa kita pelajari dari Israel adalah semangat solidaritas mereka."
Seorang warga Israel yang telah tinggal di Taiwan lebih dari 10 tahun, Meital Margulis (林雨夢), juga menyebutkan bahwa orang Israel sangat hidup di masa kini, karena perang biasanya datang secara tiba-tiba dan tidak dapat dikontrol. Satu-satunya hal yang bisa mereka pegang adalah mentalitas mereka.
Meital Margulis mengatakan, "Saya pikir, apa yang paling kita butuhkan sekarang di Taiwan adalah memahami bahwa perang itu bisa datang tiba-tiba. Kita tidak tahu apakah itu akan dimulai besok, lusa, atau setelahnya. Kita harus siap secara mental, dan kita harus mengembangkan sikap ‘Jika tidak ada hari esok, apa yang saya tunggu hari ini?’ Saya harap, setelah mendengar kata-kata saya, setiap orang akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama diri mereka sendiri, bertanya kepada diri mereka sendiri apa arti hidup mereka, benar-benar menghabiskan waktu untuk menikmati masa yang ada sekarang. Hal ketiga yang saya harapkan adalah, saya benar-benar berharap kita di Taiwan juga dapat mengembangkan rasa ‘saya untuk semua orang, dan semua orang untuk saya’, karena saya melihat Israel sekarang, dan saya pikir, hanya dengan semangat seperti itu, sebuah bangsa bisa menghadapi situasi yang sangat kelam.”
Perang mungkin tidak selalu terjadi, tapi ketika perang pecah, itu biasanya terjadi dalam sekejap mata, dan konflik Israel-Palestina baru-baru ini adalah contoh nyata. Ini menunjukkan bahwa Taiwan harus bersiap dari segi kemampuan bertempur yang konkret hingga mentalitas seluruh negara dan rakyatnya, masih banyak yang perlu diinvestasikan, diperbaiki, dan ditingkatkan.