(Taiwan, ROC) --- Prakarsa Sabuk Ekonomi Jalur Sutra Maritim abad ke-21 (disingkat Prakarsa Sabuk dan Jalan) yang gencar dipromosikan oleh Pemimpin Tiongkok, Xi Jin-ping, kini telah genap berusia 10 tahun.
Sejauh ini, sudah ada banyak negara di dunia yang tergabung dalam prakarsa ini, terutama negara dengan ekonomi lemah. Mereka mengajukan segelintir hutang kepada otoritas Tiongkok. Ironinya, Tiongkok di lain pihak dituding bahkan dikritik sebagai pihak yang sengaja menggali jebakan hutang untuk menjerat negara-negara yang ada.
Tiongkok diketahui enggan memberikan “kata ampun” kepada negara-negara miskin yang sudah terlanjur berhutang padanya dalam jumlah yang banyak. Padahal negara-negara ini tengah berjuang memulihkan perekonomian mereka yang morat-marit.
Beberapa pakar ekonom menyampaikan bahwa sikap keras yang diperlihatkan oleh Tiongkok disebabkan karena kondisi perekonomian di dalam negeri mereka sendiri tengah tidak stabil.
Sulit untuk Melindungi Diri Sendiri
Nilai utang Tiongkok dalam beberapa tahun belakangan meningkat drastis sering dengan pertumbuhan perekonomian yang menghangat. Seiring dengan melambatnya kondisi perekonomian saat ini, membuat otoritas Beijing harus berhadapan dengan bom waktu, termasuk utang triliunan dolar dari pemerintah daerah setempat serta kredit yang diajukan oleh lembaga keuangan dan pengembang real-estate.
Di bawah Prakarsa Sabuk dan Jalan, Tiongkok telah menggelontorkan dana pinjaman mencapai US$ 1 triliun kepada sekitar 150 negara berkembang di dunia. Tiongkok juga diberitakan enggan memberikan keringanan utang kepada negara-negara miskin yang ternyata tidak mampu melunasi utang mereka.
Media New York Times mewartakan bahwa hal ini sebagian besar diakibatkan kondisi perekonomian dalam negeri Tiongkok sendiri yang kian hari kian rapuh.
Menteri Keuangan Amerika Serikat, Janet Yellen berkunjung ke Beijing pada awal Juli, tepatnya 6 Juli 2023. Melalui kunjungan tersebut, Menteri Janet mencoba membujuk Tiongkok untuk menuntaskan krisis utang yang semakin melebar yang kini tengah dihadapi oleh negara-negara berpenghasilan rendah.
Dan di tengah meningkatnya nilai kerugian akibat pinjaman domestik yang semakin meluas, membuat otoritas Tiongkok akan lebih hati-hati dalam mempertimbangkan risiko dari tidak mampunya negara peminjam membayar utang mereka.
Total Utang Tiongkok Mencapai 282% dari Total PDB
Minimnya data resmi yang ada membuat banyak pihak sulit mengetahui secara pasti berapa besar nilai utang yang dimiliki Tiongkok.
Namun, para peneliti keuangan dan ekonom di JP Morgan Chase mencatat bahwa total utang domestik Tiongkok, mencakup sektor rumah tangga, bisnis dan pemerintah, telah mencapai angka 282% dari total PDB.
Angka di atas sebanding dengan rata-rata 256% dari seluruh negara maju di dunia dan 257% untuk kawasan Amerika Serikat.
Yang membedakan Tiongkok dengan kebanyakan negara lainnya adalah nilai utang yang terakumulasi sangat cepat dibandingkan dengan ukuran ekonomi mereka.
Sebaliknya di Amerika Serikat atau bahkan Jepang yang memiliki jumlah utang yang juga cukup banyak, tetapi pertumbuhan utang di kedua negara tersebut terbilang masih rendah.
Semenjak krisis keuangan menghantam dunia pada 15 tahun lalu, membuat nilai utang Tiongkok tumbuh secara dramatis. Atau dengan kata lain lebih banyak dua kali lipat dari ukuran ekonominya, membuat Tiongkok kesulitan untuk mengelola.