:::

(Part 2) Absennya Para Reformis Iran Saat Aksi Protes Masih Berlanjut?

  • 30 December, 2022
Perspektif
(Part 2) Absennya Para Reformis Iran Saat Aksi Protes Masih Berlanjut?

(Taiwan, ROC)--- Pada saat itu, pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei secara singkat mengizinkan pelonggaran pembatasan kebebasan sosial dan politik, tetapi secara bertahap memperketat peraturan tersebut kembali, setelah mendapat ancaman dari gelombang yang menuntut perubahan.

Ini menyoroti bahwa mengubah rezim Iran menghadapi masalah paling kritis dalam sistem, yaitu, ia telah berkuasa sejak 1989, dan sekarang hanya Khameni yang berusia 83 tahun yang memegang kekuasaan tertinggi.

 

Generasi Muda Tidak Percaya Kaum Reformis

Kepada media Reuters, seorang mantan pejabat di pemerintahan Mohammad Khatami menyampaikan, orang-orang sekarang merasa bahwa para reformis membantu kelompok garis keras, dengan menjanjikan reformasi. Ironinya, reformasi ini tidak mungkin akan terjadi, jika kelompok garis keras masih berkuasa.

 “Kami harus menerima fakta, jika generasi muda Iran tidak menginginkan kami lagi,” tambah mantan pejabat yang enggan disebut namanya itu.

Pandangan seperti di atas terus bergema di sudut-sudut kota di Iran. Beberapa pengunjuk rasa berpendapat, kaum reformis dan kaum garis keras adalah bagian dari masalah sosial Iran saat ini.

Dalam satu video yang menyoroti aksi protes di jalanan, para pengunjuk rasa meneriakkan, “Reformis, garis keras, ini sudah berakhir!”.

Teriakan protes serupa juga didengungkan oleh banyak pemrotes di tempat terpisah. “Kami tidak ingin referendum. Yang kami inginkan adalah perubahan rezim,” teriak para pengunjuk rasa.

 

Masyarakat Iran Terpolarisasi

Juru bicara Front Reformasi Iran, Abolfazl Shakouri-Rad menyampaikan, politik Iran telah menjadi sangat “bipolar” belakangan ini. Pemerintah ultra garis keras dan pengunjuk rasa yang tidak ingin diperintah oleh sistem teokrasi, akan melakukan reformasi debat politik.

Kepada media Fararu, Abolfazl Shakouri-Rad mengakui, para reformis tidak bisa melakukan apa-apa, selain duduk diam dan menonton. Ia melanjutkan, kedua pihak ini bertarung dengan sengit dan wargalah yang akhirnya menjadi korban.

Pada saat yang sama, para reformis tidak tahu apa yang sedang terjadi, mereka juga tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada masa mendatang, dan apakah situasi saat ini sudah sesuai dengan kepentingan nasional.

 

Gerakan Reformasi Sudah Tiada

Hari ini, Iran berada jauh lebih kuat di tangan kelompok garis keras. Ebrahim Raisi, sosok yang sangat konservatif, yang juga merupakan orang kepercayaan Ayatollah Ali Khamenei, terpilih sebagai presiden dalam pemilu tahun lalu.

Aksi protes yang dipicu oleh kematian Mahsa Amin, dengan cepat menyulut aksi pemberontakan melawah pemerintah otoriter.

Pihak berwenang di Teheran telah menyebut aksi protes yang terus meluas sebagai “kerusuhan” yang dipicu oleh musuh bebuyutan Iran, yaitu Amerika Serikat. Menurut data yang dihimpun oleh Asosiasi Hak Asasi Manusia, tindakan kekerasan yang terjadi di Iran selama ini telah menewaskan setidaknya 320 warga, termasuk 51 anak-anak dan puluhan ribu orang telah ditangkap.

Alex Vatanka seorang rekan senior di Middle East Institute yang berlokasi di Washington, AS menyampaikan, para reformis telah kehilangan dukungan masyarakat. Ia menambahkan, semenjak aksi protes pecah, kaum reformis bahkan tidak mengatakan ucapan bahwa mereka akan berdiri bersama dengan masyarakat dan generasi muda setempat.

Ia mengatakan, “Para reformis gagal, mereka gagal melawan Ayatollah Ali Khamenei. Faktanya, gerakan reformasi sudah mati, bahkan sudah mati dari sebelum-sebelumnya.”

Penyiar

Komentar