:::

(Bag.2) Era Baru Pemerintahan Xi Jin-ping yang Tidak Lagi Memprioritaskan Pertumbuhan Ekonomi

  • 18 November, 2022
Perspektif
(Bag.2) Era Baru Pemerintahan Xi Jin-ping yang Tidak Lagi Memprioritaskan Pertumbuhan Ekonomi

(Taiwan, ROC) --- Kepala koresponden Tiongkok untuk New York Times, Chris Buckley membuat laporan penting terkait Kongres Partai Komunis ke 20. Dia menuliskan, ada dua pernyataan penting yang hilang dari laporan Xi Jin-ping, yang mana hal ini mengisyaratkan kecemasannya tentang pergolakan dunia yang semakin meningkat.

Meski Xi Jin-ping tidak menyebutkan nama secara blak-blakan, tetapi dapat diyakini bahwa tujuan utamanya adalah untuk menghadapi tekanan dari musuh bebuyutannya, yaitu Amerika Serikat.

Chris Buckley melanjutkan, dalam 2 dekade belakangan, seluruh pemimpin tertinggi Tiongkok pernah menyampaikan pernyataan bahwasanya “perdamaian yang disertai pembangunan pesat adalah tujuan penting di era ini”. Atau dengan kata lain, Tiongkok tidak ingin menghadapi konflik besar yang mendesak, melainkan memilih untuk fokus terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi.

Namun, pernyataan di atas telah “dihapus” oleh Xi Jin-ping, dan digantikan dengan “Tiongkok tengah memasuki periode koeksistensi dengan peluang strategis, risiko dan tantangan yang tidak dapat diprediksi, serta faktor ketidakpastian yang meningkat”.

Hal ini jelas memperlihatkan bahwa Xi Jin-ping memiliki pandangan berbeda perihal poros utama pemerintahan, terutama dalam 5 tahun mendatang. Ia juga percaya bahwa lingkungan luar Tiongkok tengah menghadapi situasi menyeramkan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mana akan mendatangkan tantangan tersendiri bagi kelanjutan kekuasaannya.

 

Mengorbankan Pertumbuhan Ekonomi

Profesor Institut Studi Asia Timur di Universitas Nasional Singapura, Frank N. Pieke menyampaikan, Xi Jin-ping tengah menuju ke arah pemerintahan seumur hidup, dengan ambisi untuk mengkonsolidasikan otoritasnya. Sebagai pemimpin, Xi Jin-ping juga diprediksi akan menggunakan caranya sendiri, dan tidak akan sama dengan para pimpinan sebelumnya yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi.

Kepada media Bloomberg, Frank N. Pieke menyampaikan, selama beberapa dekade belakangan, pemimpin tertinggi Tiongkok telah membenarkan aturan mereka dengan memanfaatkan “kartu” pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, kartu tersebut tidak akan lagi dimanfaatkan oleh Xi dalam menyatukan kekuatannya, mengingat perekonomian Tiongkok yang mulai stagnan. Pada saat yang sama, Xi juga harus berhadapan dengan tekanan AS yang kian meningkat, dalam membendung ekspansi otoritarianisme Tiongkok.

Dengan demikian, mandat pemerintahan Xi Jin-ping telah bergeser ke arah penguatan kontrol partai terhadap sektor bisnis dan sosial masyarakat, serta kembali kepada penerapan manajemen ekonomi kuno dalam meningkatkan kontrol atas perusahaan swasta.

Hal ini juga sejalan dengan analisis dari artikel “Dewan Atlantik” yang menyampaikan, kebijakan ekonomi yang diprioritaskan oleh Xi Jin-ping akan mengarah pada isu “keamanan ekonomi” ketimbang “efisiensi ekonomi". Dengan kata lain, Xi Jin-ping bersedia untuk mengorbankan pertumbuhan ekonomi demi kepentingan politiknya.

Media CNN mewartakan, otoritas Beijing mengumumkan akan membatasi pergerakan dari perusahaan yang terlampau kuat dan mengutamakan perlindungan konsumen. Keputusan tersebut akan mencekik perusahaan swasta, terutama yang bergerak di perindustrian real-estat dan teknologi. Dan untuk jangka panjangnya, hal itu akan mendinginkan rantai perekonomian Tiongkok, serta bisa menekan pemikiran-pemikiran inovatif pada masa mendatang.

 

Era Ini Menguntungkan Amerika Serikat

Seorang peneliti di wadah pemikir Amerika Serikat, The Atlantic Council, Michael Schuman mengambil sudut pandang dari Gedung Putih di Washington, menyampaikan bahwa ekspansi kekuasaan Xi Jin-ping di internal Tiongkok tidak selalu menjadi masalah bagi Amerika Serikat.

Melalui akun Twitternya, Michael Schuman menyampaikan, hasil yang terdapat dalam Kongres Partai Komunis Tiongkok ke 20 sebenarnya sudah cukup baik.

Dengan menjadi semakin otoriter, maka kebijakan ekonomi yang diambil Tiongkok juga akan semakin buruk. Dan bukan tidak mungkin, jika hal tersebut akan mempengaruhi kebijakan luar negeri Tiongkok yang semakin kontraproduktif, sehingga akan melemahkan kekuatan persaingan mereka di panggung dunia.

 

 

 

 

 

 

Penyiar

Komentar