(Taiwan, ROC) --- Arab Saudi dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) diberitakan terus memperkuat hubungan kerja sama di antara keduanya. Pada bulan Maret lalu, diberitakan bahwa Pemimpin Xi Jin-ping menerima undangan untuk mengunjungi Arab Saudi. Arab Saudi berharap agar Xi Jin-ping dapat segera bertandang ke negara mereka pada bulan Mei mendatang.
Di samping itu, Arab Saudi juga membuka perizinan agar RRT bisa menggunakan mata uang mereka, yakni RMB untuk membeli minyak dari Arab Saudi. Analisis menyampaikan, hubungan keduanya yang kian erat disinyalir dapat menumbangkan hubungan jangka panjang antara Arab Saudi dengan Amerika Serikat.
Itikad Baik Arab Saudi Terhadap Tiongkok
Media Wall Street Journal (WSJ) merilis pemberitaan pada bulan Maret lalu yang melaporkan bahwa otoritas Arab Saudi terus mengupayakan negosiasi dengan Beijing, guna mengubah perhitungan harga minyak Arab Saudi yang dijual ke RRT dengan menggunakan mata uang RMB.
Pada saat yang sama, Pemimpin Xi Jin-ping juga menerima undangan untuk mengunjungi Arab Saudi, secepat-cepatnya pada bulan Mei mendatang.
Upaya-upaya di atas memperlihatkan niat Arab Saudi untuk terus mendekati RRT, guna mempererat hubungan antar keduanya. Sikap Arab Saudi tersebut disinyalir dapat merusak hubungan lamanya dengan Amerika Serikat.
Namun, sebagian besar analisis menuturkan bahwa perubahan harga minyak dalam mata uang RMB akan memiliki konsekuensi yang luas, tetapi tidak akan terjadi dalam jangka pendek hingga menengah.
Dalam artikel yang ditulis oleh wartawan India, Samanth Subramanian di situs berita online Arab Saudi, Quartz menyampaikan, keputusan Arab Saudi untuk mematok uang mereka terhadap Dolar Amerika Serikat akan membahayakan mata uang sendiri.
Ketidakpuasan Arab Saudi Terhadap Bangsa Barat
Media Bloomberg mengutip pernyataan ahli valas yang menyebutkan bahwa langkah Arab Saudi jelas merupakan pesan politik yang ditujukan untuk menekan sekutu bangsa barat.
Institusi think-thanks "Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri ECFR" merilis laporan yang diberi judul "China's Great Game in the Middle East" pada tahun 2019. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa RRT seringkali dijadikan alat tawar-menawar oleh otoritas Arab Saudi.
Peristiwa pasca pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi misalnya. Putra Mahkota Mohammed bin Salman diberitakan menggunakan perjalanannya ke Asia untuk mempengaruhi Amerika Serikat terlibat perdebatan dengan negara-negara Eropa perihal proyek penjualan senjata ke Arab Saudi.
Analisis media Wall Street Journal mewartakan, otoritas Arab Saudi tengah dirundung banyak kecemasan belakangan ini, meliputi memburuknya hubungan dengan Amerika Serikat semenjak Joe Biden menjabat posisi presiden.
AS diketahui tidak lagi memberikan dukungannya atas keterlibatan Arab Saudi dalam perang saudara di Yaman. Negeri Paman Sam bahkan aktif mempromosikan untuk kembali memberlakukan perjanjian nuklir Iran.
Salah seorang pakar di ECFR, Cinzia Bianco mengatakan kepada media DW, pejabat Arab Saudi menaruh kecemasan mendalam jika posisi Timur Tengah menjadi kian pudar, seiring dengan beralihnya fokus AS ke kawasan Asia-Pasifik. Hal ini tentu akan berdampak pada kian berkurangnya perhatian Negeri Paman Sam terhadap isu penggunaan bahan bakar fosil.
Cinzia Bianco menambahkan, penguasa di Teluk Persia menolak untuk berdiri bersama dengan AS dan Eropa dalam menentang Rusia, dikarenakan pertimbangan mereka untuk melindungi kepentingan nasional.