close
RTISISegera unduh Aplikasi ini
Mulai
:::

Reporter Muda Ep.36 - 【Di Usia 14 Tahun Saya】 Chen Yen-lin : “Karena Penyakit Yang Tidak Bisa Diobati” Membuatku Tak Putus Asa Mencari Solusi

  • 29 November, 2024
Reporter Muda
Chen Yen-lin M.D, Ph.D

Chen Yen-lin M.D, Ph.D

Ketika saya mengetahui bahwa saya menderita distrofi otot, kehidupan saya adalah terus menerus bertarung dengan tubuh yang "semakin merosot setiap hari". Saya selalu bekerja keras untuk mengatasi ketidaknyamanan yang disebabkan oleh kelemahan otot saya.

Bagaimana cara mengenakan dan metode apa yang dapat saya gunakan untuk melepaskan alas kaki saya? Rasanya seperti dikerjain, seseorang mengubah "aturan main", tidak butuh waktu lama bagi tubuh saya akan memburuk lagi dan segalanya berubah. Pukulan menghantam bertubi-tubi, dan tetasan air mata yang tak terhitung jumlahnya telah membanjiri masa mudaku.

Mengapa operasi tidak dapat dilakukan? Mengapa tidak ada obat untuk penyakit saya? Mengapa hidupku begitu tidak berarti? Ribuan pertanyaan "mengapa", tidak ada yang bisa memberi tahu saya jawabannya saat itu. Kini, setelah saya menjadi dokter dan mengabdikan diri pada penelitian genetika, saya berharap dapat membantu pasien lain yang mengidap penyakit langka dan masa remaja saya untuk "menemukan jawabannya".

Awalnya saya tidak terlalu peduli kelainan pada tubuh saya. Karena pekerjaan ayah saya, saya bersekolah di Amerika Serikat. Suatu kali, saya berlari di taman bermain selama kelas pendidikan jasmani. Setelah berlari sebentar, saya merasa sangat lelah dan berlari lebih lambat dibandingkan anak Perempuan. Saat itu, saya pikir itu karena orang asing itu tinggi sekali. Di lain waktu saya berdiri, tetapi tanpa sadar kaki saya gemetar dan tumit saya sepertinya akan copot.

“Lihat, kakiku gemetar dengan sendirinya.”

Setelah saya kembali ke Taiwan, pada usia 15 tahun, tim lari estafet diadakan di kegiatan olahraga sekolah. Seorang teman sekelas bertanya kepada saya apakah saya bisa berlari cepat. Saya menjawab: “Ketika saya masih kecil, saya berlari 100 meter 13 detik.” Guru di sekolah beranggapan cukup bagus dan meminta saya untuk ikut serta dalam lomba.

Saya masih ingat ketika saya sedang berlari dan berlatih menyerahkan tongkat estafet hingga tongkat estafet terakhir. Teman-teman sekelas saya sedang berlari dan mengejar tongkat estafet, namun saya merasa sangat sulit dan tidak dapat mengejar teman sekelas, saya tidak berhasil menyerahkan tongkat estafet kepada teman sekelasku. Setelah kembali ke kelas, teman sekelas saya berkata, "Jika kamu tidak ingin melarikan diri, katakan saja padauk, kamu tidak boleh begitu." Karena itu, pada akhirnya aku tidak ikut dalam tim estafet, dan Aku tidak bisa mengungkapkan rasa sakitku.

Setelah saya masuk ke SMA Chiayi, fakta akan kebugaran fisik saya semakin buruk selalu tersembunyi di benak saya, bahkan saya khawatir, "Jika saya gagal dalam olah raga, apakah saya bisa lulus juga?" Saat naik bus, karena anak tangga dari bus tua itu sangat tinggi, saya sudah merasa tidak sanggup melangkah dengan kaki saya. Kalaupun saya menginjaknya, saya tidak mempunyai tenaga untuk mengangkat badan saya naik ke atas bus. Tak kuasa menahan rasa takut dan keraguan dalam hati, akhirnya saya meminta orang tua saya untuk membawa saya untuk memeriksa kesehatan.

Awalnya ibu saya membawa saya ke dokter pengobatan tradisional Tiongkok, ibu beranggapan setelah saya dewasa nantinya maka akan sembuh dengan sendirinya. Berjalan dengan ransel, semakin sulit mengangkat kakiku menaiki tangga. Kemudian, dengan bantuan kerabatnya, dipindahkan ke spesialis neurologi di Yunlin untuk perawatan medis. Tanpa diduga, setelah serangkaian pemeriksaan, dokter memberi tahu saya bahwa dialihkan ke Rumah Sakit Universitas Nasional Taiwan, dan selama 2 minggu untuk pemeriksaan mendetail seperti pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI), elektromiografi (EMG), dan biopsi otot.

“Penyakitku Tidak Ada Obatnya”

Saya masih ingat dokter memberi tahu saya hasilnya. Saya duduk bersama ayah saya dan dia mulai menjelaskan bahwa saya menderita distrofi otot. Saat ini, dalam hati saya menunggu dokter memberi tahu kami bahwa kami harus menjalani operasi atau minum banyak obat atau menjalani rehabilitasi, karena saya ingin menyembuhkan penyakit saya secepat mungkin, dan saya sudah siap secara mental untuk menerima semua perawatan yang diatur oleh dokter. Saya tidak menyangka akan segera mengetahui penyakitku, saya menderita muscular dystrophy atau distrofi otot, dan tidak ada obat untuk penyakit ini!

Dokter terus menjelaskan, "Ini adalah penyakit keturunan, mungkin pada usia 30 tahun menggunakan kursi roda," dan kemudian menjelaskan cara merawatnya di kemudian hari, tetapi saya tidak dapat memahaminya sama sekali pada saat itu. Bukankah sekarang ini medis kedokteran sudah sangat maju? Kok tidak ada obatnya?

Dalam perjalanan kembali ke Chiayi dari Taipei, pikiran saya menjadi kosong dan saya hanya berkutat dengan: “mengapa tidak bisa ditangani?”

Belakangan, saya perlahan-lahan menyadari bahwa kondisi saya akan bertambah buruk. Setiap kali saya berpikir tentang bagaimana keadaan saya, tidak akan bisa bermain bola atau keluar bermain seperti teman sekelas lainnya, tanpa sadar saya menangis di dalam selimut karena takut keluargaku mendengar isak tangisku.

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak hal yang tidak dapat saya lakukan. Perubahan di sekolah adalah menaiki tangga. Suatu hari aku masih bisa naik ke kelas secara perlahan dibantu dengan tangan, tetapi keesokan harinya aku tidak bisa lagi naik ke atas.

Saya terus mengalami "tiba-tiba suatu hari, saya tidak bisa melakukan ini atau itu." Ketika saya pertama kali masuk perguruan tinggi, saya masih bisa bergerak sendiri dan bergegas ke ruang kelas yang berbeda sendirian, kejadian terjatuj selalu terjadi selama saya bergerak. Suatu ketika, ketika saya sedang terburu-buru untuk masuk ke kelas, saya tiba-tiba merasa sulit mengangkat kaki, di ambang pintu kecil, karena tidak ada penyangga di kedua sisinya, saya tidak dapat mengangkat kaki untuk melintasinya. Saya berdiri di sana untuk waktu yang lama, dan akhirnya menunggu teman sekelas lewat dan membantu saya. Meskipun saya sangat malu, saya hanya bisa meletakkan tangan saya di bahunya dan menggunakan kekuatannya untuk melewati ambang pintu yang kecil.

Yang paling parah adalah terjatuh di pinggir jalan, karena kaki tidak bisa diangkat tinggi-tinggi, dan bisa saja terjatuh asalkan tanahnya agak tidak rata. Yang lebih merepotkan lagi adalah saya tidak bisa bangun sendiri, saya sering harus meminta bantuan kepada anak laki-laki yang kebetulan lewat, dan saya harus mengajari mereka, cara memegang ketiak dan meluruskan kaki sebelum saya bisa berdiri. Atau ketika saya sedang berbaring di tempat tidur dan ingin memakai celana, saya melihat kaki saya dan berkata, "Bergerak, angkat!" Tapi kaki saya tidak bisa bergerak.

Sekarang saya seorang dokter. Ketika saya bekerja di rumah sakit, saya duduk di kursi roda atau kursi tanpa sandaran tangan. Sulit untuk berdiri dan saya harus bergantung pada bantuan rekan-rekan saya. Semua ini adalah "hal sepele", tetapi sangat sulit bagi saya.

Masihkah Aku Bisa Mengejar Impianku?

Saya selalu tertarik dengan roket. Ketika saya masih kecil, saya selalu ingin membuat roket sendiri. Saya bermimpi bisa berkesempatan bekerja di Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA) setelah lulus kuliah.

Benarkah dengan belajar bisa mendapatkan pekerjaan bagus di masa depan, dan mewujudkan impian, tapi apalah artinya bagiku?”

Saya bahkan tidak bisa bermimpi. Saya tidak ingin belajar untuk sementara waktu di SMA tahun kedua, dan nilai saya turun dari tiga teratas menjadi di luar peringkat sepuluh. Untuk menyemangati saya, ayah saya, yang adalah seorang profesor universitas, bilang, "Apakah Anda ingin belajar kedokteran untuk mempelajari penyakitmu sendiri?" Pada saat itu, saya sepertinya telah menemukan misi saya lagi, dan saya menemukannya bertekad untuk mengambil buku dan belajar kedokteran. Namun, kondisi fisik saya saat itu membuat saya mudah merasa lelah. Untungnya, dengan bantuan guru, saya bisa memilah poin-poin penting dan berusaha sebaik mungkin.

Namun, setiap kali saya mengatakan pada diri sendiri untuk tidak berkecil hati, ada satu hal yang selalu membuat saya putus asa. Suatu ketika saya membaca bab tentang "pernapasan" dalam biologi. Buku teks tersebut menggambarkan diafragma sebagai otot rangka. "Pernapasan juga bergantung pada otot rangka. Akankah suatu saat otot rangka kehilangan kekuatan dan pada akhirnya saya tidak bisa bernapas? Bukankah begitu? bukankah aku mati?" Ini untuk pertama kalinya, aku merasa sangat dekat dengan kematian. Hal ini membuatku sangat takut, kesepian dan tidak berdaya. Aku putus asa dan menangis lagi. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir selama 2 jam.

Untuk memahami tekanan ujian setiap orang, guru sekolah memberi setiap orang selembar kertas kosong untuk mengekspresikan diri mereka. Saya menulis paragraf panjang tentang semua emosi yang tidak berani saya sampaikan kepada orang tua atau kakak saya. Saya masih ingat apa yang saya tulis: "Saya menangis lama sekali. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya takut dan tidak berdaya."

Seminggu kemudian, guru memberi saya 3 buku: "Lima Anggota Tubuh Yang Tidak Lengkap", "Tueday with Morries", “The Diving Bell and the Butterfly”, buku tentang anggota tubuh yang tidak lengkap yang dihadapi pasien adalah keterbatasan karna tidak memiliki organ tubuh yang lengkap , tidak ada kaki dan tangan, setelah membaca melihat kondisi yang diterima dan dihadapi dengan senang hati, lalu saya beranggapan setidaknya saat ini saya masih mampu bergerak,saya jauh lebih beruntung dari dia. "Awalnya saya terjebak dalam emosi negatif seperti ketidakberdayaan dan ketakutan, tetapi pikiran saya berangsur-angsur berubah dan saya menyemangati diri sendiri. Saya harus bekerja keras. tidak untuk terkalahkan. Saya akhirnya mengandalkan keyakinan ini dan diterima di Fakultas Kedokteran.

Namun setelah saya mulai magang di rumah sakit, masih banyak keterbatasan, karena gerakan tangan saya lambat laun terpengaruh, dan saya tidak bisa menggunakan kedua tangan secara bersamaan. Oleh karena itu, hambatan terbesar saya adalah saya tidak bisa memberikan pertolongan pertama kepada pasien dan melakukan keadaan darurat intubasi endotrakeal (tindakan untuk membuka jalan napas) pada pasien.

Kecapekan karena bertugas membuat saya semakin lemas. Beberapa rekan kerja pernah menyarankan agar saya mengajukan permohonan untuk tugas piket, namun menurut saya sebaiknya saya berusaha semaksimal mungkin, karena saya tidak ingin diperlakukan berbeda dari yang lain!

Mencari Solusi Untuk Penyakitku Sendiri

Meskipun menderita distrofi otot membatasi pilihan saya, satu-satunya departemen patologi yang cocok untuk saya adalah departemen yang tidak memerlukan kontak langsung dengan pasien, dan departemen patologi terutama membantu pasien menemukan kemungkinan penyebab terkait penyakit tersebut, yang juga sejalan. dengan keinginan saya untuk belajar kedokteran saat itu. Niat awal: mencari jawaban atas penyakit diri sendiri.

Berkecimpung di bidang medis, saya memahami bahwa ada banyak penyakit yang belum ada obatnya. Bukannya tidak ada yang mau mempelajarinya, hanya saja penyakitnya sangat sulit. Ide saya terbatas untuk sementara waktu, sampai saya pergi ke Rumah Sakit Umum Veteran Taipei untuk mempelajari pengujian genetik, dan kemudian mendaftar di kelas doktoral untuk melakukan penelitian terkait atrofi otot, yang membuka jalan lain bagi saya.

Saya masih bisa berjalan sendiri pada semester kedua tahun pertama Ph.D., namun pada semester kedua saya sudah harus mengandalkan kruk untuk berjalan, dan laju kemunduran menjadi lebih cepat. Saat itu, saya tiba-tiba berpikir, mungkin penyakit ini belum ada obatnya, tapi bisakah "memperlambat laju kemundurannya"? Bahkan selangkah lebih maju, apakah mungkin menghindari tragedi, dengan tidak melahirkan orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau langka seperti saya?

Hal Yang Ingin Kukatakan Pada Diri Saat Usia 14 Tahun….

Jika saya bisa kembali ke usia 14 tahun, saya ingin kembali ke malam ketika saya tidak henti-hentinya menangis. Lalu, saya akan menepuk dada sendiri dan berkata, "Semuanya akan berlalu." Setelah mengetahui penyakit yang saya idap, ayahku merasa sangat bersalah. Meskipun ibuku berusaha menganggap masalah biasa, aku tidak ingin menambah kesedihan mereka. Namun, tidak ada yang bisa berbagi emosi negatifku saat itu, aku penuh ketakutan dan kesepian. “Kematian jauh melampaui pengetahuanmu.” Mungkin jika kembali ke saat itu, saya bisa menciptakan versi diri saya yang lain, jadi bisa berbagi semua emosi negatif yang saya rasakan.

Penyiar

Komentar