Maraton King Kong Shuanglang Changbin di Taitung Diikuti Lebih dari 2200 Pelari – Lobster Makan Sepuasnya
Diselenggarakan oleh Kantor Pengelola Kawasan Pemandangan Nasional Pantai Timur, acara “Maraton King Kong Shuanglang Changbin 2025”dimulai dengan meriah pada 4 Mei di Sekolah Dasar Nasional Changbin, Kabupaten Taitung. Tahun ini, peserta datang dari 11 negara, termasuk Australia, Belgia, Amerika Serikat, Kanada, Malaysia, Filipina, Vietnam, Tiongkok, Hong Kong, Irlandia Utara, Indonesia, dan Jepang. Lebih dari 2200 orang turut meramaikan acara ini, dengan salah satu daya tarik utama berupa makan lobster sepuasnya sebagai hidangan tambahan.
Tahun ini bertepatan dengan peringatan 10 tahun pelaksanaan acara, sehingga panitia menggelar jamuan unik “Meja Makan Suku Changbin” di King Kong Avenue yang terkenal. Para pelari tidak hanya disuguhi pemandangan menakjubkan Samudra Pasifik selama berlari, tetapi juga dapat mencicipi aneka hidangan eksklusif, seperti lobster, siput batu hijau, bekicot, serta onigiri buatan tangan dari beras lokal Changbin. Para peserta pun berhenti sejenak untuk berfoto dan antre mencicipi makanan tersebut, menciptakan suasana yang sangat meriah.
Pos pemberhentian makanan sepanjang lintasan juga menampilkan kekayaan lokal, mulai dari udang putih khas Changbin, sosis daging babi hutan, donat millet, hingga produk hasil kerja sama dengan toko-toko lokal seperti tomat kecil, kopi dingin, biskuit oat, permen tuna King Kong, dan ikan mahi-mahi goreng. Ragam makanan ini mendapat banyak pujian dari para peserta. Selain itu, regu penyemangat dari berbagai suku tampil dengan penuh semangat dan kostum kreatif untuk memberikan dukungan di sepanjang rute, menambah keseruan lomba dan kehangatan suasana.
(foto: 東管處)
Fakta Unik:
Bagaimana Masyarakat Adat Mengenal Sejarah Mereka Tanpa Tulisan?
Hari ini, kita akan membahas sejarah ribuan tahun masyarakat adat Taiwan. Selama ini, ketika membicarakan sejarah masyarakat adat, kita sering memulainya dari abad ke-17, karena pada masa itu semakin banyak orang Han, Jepang, dan Eropa datang ke Taiwan, meninggalkan banyak catatan tertulis dan gambar. Misalnya, Dong Fan Ji tahun 1603 adalah catatan tertulis paling awal oleh orang Han tentang Taiwan, yang menggambarkan masyarakat adat sebagai kuat dan cepat, “bahkan lebih cepat dari dua harimau”. Mereka berdagang dengan orang Han, tetapi seringkali dirugikan oleh pedagang licik.
Namun, apakah ini benar-benar mencerminkan sejarah asli masyarakat adat? Catatan seperti ini hanya mencakup sekitar 400 tahun terakhir, padahal masyarakat adat telah tinggal di Taiwan selama ribuan tahun. Lebih penting lagi, catatan ini berasal dari sudut pandang orang luar. Apakah ini benar-benar sejarah masyarakat adat?
Selama ribuan tahun sebelum kedatangan orang luar, bagaimana masyarakat adat melihat sejarah mereka sendiri? Bagaimana kita mengetahui sejarah masyarakat adat yang tidak memiliki sistem tulisan? Selain bukti arkeologi yang telah kita bahas sebelumnya, ada metode lain, yaitu tradisi lisan masyarakat adat.
Meskipun tidak memiliki sistem tulisan, masyarakat adat memiliki bahasa. Melalui bahasa, mereka menyampaikan informasi sehari-hari, seperti cara membedakan tumbuhan dan hewan yang dapat dimakan, teknik berburu di hutan, serta cerita tentang migrasi dan perang antar suku. Cerita-cerita penting ini kemudian menjadi mitos dan legenda yang diceritakan seperti dongeng sebelum tidur kepada generasi berikutnya.
Dalam bahasa Bunun, ada istilah "Palihabasan " yang berarti menceritakan kejadian masa lalu, mirip dengan "bercerita" dalam budaya lain. Setiap suku memiliki istilah sendiri untuk kegiatan ini. Sebelum menceritakan cerita, biasanya dilakukan upacara kecil untuk memberi tahu leluhur, menambah kesakralan cerita tersebut.
Namun, informasi yang disampaikan secara lisan memiliki tantangan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tahu bahwa informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut bisa berubah. Misalnya, cerita tentang seseorang yang makan sepuluh sosis bisa berubah menjadi cerita tentang seseorang yang mencuri seratus sosis. Meskipun tulisan juga bisa mencatat informasi yang tidak akurat, sejarawan dapat membandingkan berbagai versi tulisan untuk mendekati kebenaran. Sebelumnya, tidak ada alat perekam untuk mencatat cerita lisan. Jadi, bagaimana kita bisa menemukan kebenaran dalam tradisi lisan?
Mari kita lihat bagaimana masyarakat adat menceritakan asal-usul mereka. Dalam legenda suku Tsou, manusia diciptakan oleh dewa Hamo dari daun. Suku Atayal percaya bahwa nenek moyang mereka muncul dari batu. Legenda tentang asal-usul dari batu ini umum di banyak suku, seperti Atayal, Seediq, Truku, Paiwan, Rukai, dan Puyuma.
Selain itu, ada juga legenda tentang banjir besar. Banyak budaya di dunia memiliki cerita tentang banjir besar, dan masyarakat adat Taiwan tidak terkecuali. Dalam legenda suku Bunun, seekor ular raksasa menyumbat sungai, menyebabkan banjir yang menenggelamkan daratan. Masyarakat dan hewan melarikan diri ke gunung. Api dan tulisan mereka akhirnya jatuh ke air.
Suku Amis memiliki legenda bahwa nenek moyang mereka datang dari tempat lain dan tiba di pegunungan pesisir Taiwan dengan rakit kayu besar saat banjir besar. Suku Tsou, Atayal, dan Paiwan juga memiliki legenda tentang banjir.
Legenda banjir ini mungkin mencerminkan ingatan kolektif tentang migrasi atau bencana alam. Beberapa suku memiliki legenda asal-usul dari batu, sementara yang lain memiliki legenda tentang banjir. Bahkan, beberapa suku memiliki kedua jenis legenda ini.
Sekarang, mari kita klarifikasi tentang legenda suku Saisiyat dan tetangga kerdil mereka. Apakah makhluk kerdil ini benar-benar ada? Legenda tentang makhluk kerdil tidak hanya dimiliki oleh suku Saisiyat. Penelitian tahun 2015 menemukan bahwa legenda ini ada di banyak masyarakat adat. Legenda ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
- Makhluk kerdil sebagai musuh yang jahat, sering menyerang desa, menculik anak-anak dan wanita, bersembunyi di semak-semak, dan akhirnya dimusnahkan oleh masyarakat adat.
- Makhluk kerdil sebagai tetangga yang ramah, membantu membangun rumah dan mencari makanan, tetapi akhirnya menghilang.
- Dalam legenda suku Saisiyat, makhluk kerdil awalnya adalah teman baik, berkulit gelap, kuat, dan pandai menulis. Namun, karena konflik, suku Saisiyat menipu mereka, hampir memusnahkan mereka. Sebelum pergi, makhluk kerdil memberikan upacara kompleks yang harus dilakukan setiap tahun, jika tidak, mereka akan dikutuk. Inilah asal-usul upacara Pas-ta'ai.
Apakah makhluk kerdil ini benar-benar ada? Ini masih menjadi perdebatan di kalangan arkeolog dan sejarawan. Beberapa mengatakan mereka adalah imigran awal, sementara yang lain menganggap mereka makhluk fiktif. Namun, pada tahun 2022, arkeolog menemukan tengkorak berusia 6.000 tahun di Taitung, milik seorang gadis muda dari ras Negrito Asia Tenggara yang berpostur pendek dan berkulit gelap. Meskipun satu tengkorak tidak cukup untuk membuktikan keberadaan kelompok makhluk kerdil, ini membuat legenda tersebut terasa lebih nyata.
Melalui cerita-cerita ini, kita mendapatkan gambaran tentang bagaimana masyarakat adat memandang masa lalu mereka. Meskipun tidak memiliki sistem tulisan, nenek moyang mereka menyampaikan pengetahuan dan pengalaman penting melalui mitos dan legenda, membentuk memori sejarah yang unik.
Namun, apakah masyarakat adat benar-benar tidak memiliki tulisan? Dalam legenda suku Bunun, diceritakan bahwa mereka kehilangan tulisan dan api saat melarikan diri dari banjir. Suku Amis juga memiliki legenda bahwa nenek moyang mereka memiliki tulisan, tetapi hilang karena jatuh ke air. Ini menunjukkan bahwa mungkin masyarakat adat memiliki pengalaman dengan sistem tulisan, tetapi sayangnya, legenda ini belum banyak diteliti.
Dari pembahasan tentang legenda makhluk kerdil, kita melihat bahwa tradisi lisan dapat menjadi petunjuk penting untuk memahami sejarah. Cerita-cerita ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, memberikan perspektif budaya yang berbeda dan memperkaya budaya Taiwan.
(foto: Canva)
Wawancara dengan Kak Hanny
Kak Hanny adalah penduduk imigran baru yang juga merupakan pengusaha toko Indonesia. Di sela-sela kesibukannya, ia juga membuat Grup Tari Kirana dan juga mengajar budaya Indonesia di beberapa sekolah.
Seperti apa pengalamannya? Yuk, dengarkan wawancara berikut ini!
(foto: Hanny)