Kali ini acara RtiFM Online Jiwa Muda menghadirkan edisi khusus terkait dengan perkembangan media sosial sebagai pilihan generasi muda untuk mencari berita dan informasi.
Kemana Anak Muda Mencari Informasi?
Sudah jadi rahasia umum kalo saat ini cari informasi itu mudah banget, tinggal buka hape saja semua ada. Apalagi sekarang kita tahu ya media sosial juga berperan banget untuk menyebarkan informasi.
Nah tapi dari banyaknya media, sebenarnya kebanyakan anak muda mengakses berita itu dari mana sih?
Apakah memang benar cuma dari media sosial, apa sebenarnya masih banyak yang mengakses ke medianya itu sendiri.
Wahyu Dhyiatmika selaku CEO Tempo Digital juga telah menjelaskan sebenarnya gambaran media hari ini seperti apa.
Anak Muda Akses Berita dari Media Sosial
Ada riset dari Reuters Institute for the Study of Journalism pada 2023 nih, yang ternyata generasi muda lebih memilih mengakses berita melalui media sosial dan aggregator.
Yang artinya semakin banyak orang yang meninggalkan media konvensional, baik melalui laman resmi maupun aplikasi.
Tidak hanya itu, generasi muda ternyata lebih cenderung mengkases informasi lewat selebritas, influencer, dan kepribadian media sosial daripada akun-akun berita atau jurnalis di platform, seperti TikTok, Instagram, dan Snapchat.
Ilustrasi media sosial (foto: Big Evo)
Nah dari semua platform media sosial yang ada sekarang, TikTok itu adalah salah satu platform yang mengalami pertumbuhan tercepat, dan digunakan oleh 20 persen anak berusai 18-24 tahun untuk mengakses berita.
Menurut laporan We Are Social, Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak kedua di dunia, yaitu sekitar 106,51 juta pengguna.
Amerika Serikat masih kokoh di posisi teratas dengan 143,4 juta pengguna TikTok.
Negara Tertinggi Pengguna TikTok untuk Mencari Berita
Laporan Reuters Institute dalam Digital News Report 2024 menghimpun sedikitnya 10 negara teratas yang menggunakan TikTok sebagai media sosial untuk membaca berita.
Urutan pertama ditempati Thailand dengan proporsi 39% dari total respondennya.
Kedua ada Kenya dengan persentase responden sebesar 36%. Disusul Malaysia dengan proporsi 31%.
Indonesia masuk daftar keempat dengan proporsi 29%. Adapun yang kelima Afrika Selatan dengan proporsi 28%.
Dari informasi tersebut, kita bisa lihat bahwa negara-negara yang mengandalkan TikTok sebagai sumber informasi untuk mencari berita, ternyata diisi oleh negara negara berkembang.
Proporsi pengguna TikTok terbanyak (foto: Databoks)
Tim riset menyebut, proporsi 10 negara yang diisi kelompok berkembang ini jauh melampaui penggunaan negara-negara maju, seperti Inggris yang hanya 4%, Denmark 3%, dan Amerika Serikat 9%.
Dan gak heran, makanya banyak sekali politisi yang memanfaatkan TikTok ini untuk sarana kampanye.
Misalnya saja, Presiden baru Argentina, Javier Milei, sukses memanfaatkan kampanye lewat akun TikTok dengan menarik 2,2 juta pengikut.
Hal yang sama dilakukan presiden Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, meraih kemenangan pada Februari 2024 dengan membuat kampanye di media sosial.
Reuters Institute mengungkapkan, konten Prabowo menampilkan gambar-gambar yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). mengubah citra mantan jenderal garis keras itu menjadi kakek yang lucu dan menawan," tulis tim riset,
Tapi mengakses informasi memalui sosial media dan tidak mencari kebenarannya secara langsung itu juga berbahaya, karena berpotensi dengan misinformasi dan juga berita hoaks.
Maka dari itu kita sebagai pengguna juga harus berhati-hati. Sebaiknya kalaupun memang mengandalkan informasi dari sosial media, tetapi mesti tetap mencari tahu sumber aslinya..
Oleh sebab itu maka penting juga ya bagi kita pembaca dan juga media mengisi ruang digital secara sehat. Apalagi jurnalisme itu adalah salah satu tanda bahwa kita sedang menjunung demokrasi. Jurnalisme yang sehat adalah indikator bahwa kita sedang melakukan pengawasan terhadap berita-berita yang tidak berpihak pada masyarakat dan sebagai penyeimbang dan untuk klarifikasi berita hoaks.
Influncer mempengaruhi Perilaku Belanja
Influencer sosial semakin mempengaruhi perilaku pembelian konsumen. Untuk lebih memahami bagaimana brand dapat memaksimalkan strategi periklanan mereka melalui media sosial, sebuah lembaga riset Nielsen telah merilis wawasan baru di seluruh Asia berdasarkan studi yang dilakukan bersama Rakuten.
Dengan fokus pada pembangunan merek, para pemasar terus mencari cara untuk tetap berada di benak calon pembeli.
Untuk melakukan hal ini, banyak yang beralih ke media sosial-dan influencer-untuk menjalin hubungan yang lebih personal (dan menguntungkan) dengan konsumen.
Para pemasar global berencana untuk meningkatkan belanja media sosial mereka sebesar 53% di tahun ini.
Dan media sosial tampaknya menjadi saluran yang paling dapat dibiayai oleh para pemasar global, karena 64% pemasar globa mengatakan bahwa media sosial adalah saluran berbayar yang paling efektif.
Dampak Kesehatan
Dampak kesehatan dari sosial media ternyata kurang baik, khususnya terkait dengan kognitif otak (foto: Darya varia)
Di balik kesenangan dan keseruannya, TikTok dapat memberikan dampak buruk kepada kesehatan, terutama kognitif otak.
Menurut penelitian berjudul “Accelerating Dynamics of Collective Attention” yang dipublikasikan oleh Nature Communications, penggunaan TikTok yang berlebihan dapat menurunkan fokus dan rentang perhatian penggunanya.
Mengurangi Kemampuan Otak untuk Fokus
Naik turunnya konten populer TikTok didorong oleh frekuensi produksi dan konsumsi konten.
Menurut penelitian tersebut, ini mengakibatkan defisit pada kemampuan pengguna untuk menerima atau mengonsumsi konten dengan durasi lebih panjang.
Durasi konten yang lebih panjang membutuhkan fokus yang lebih lama. Durasi video TikTok sendiri biasanya berada pada rentang 15-60 detik. Terbiasa dengan durasi video yang pendek—apalagi sampai kecanduan—akan membuat orang lebih susah berkonsentrasi saat kembali disuguhkan video dengan durasi panjang.
Hal yang sama kurang lebih juga diungkapkan oleh tim peneliti dari Technical University of Denmark. Dalam penelitian yang mereka lakukan, arus informasi yang konstan dapat mempersempit rentang perhatian kolektif pengguna TikTok dari waktu ke waktu.
Orang-orang yang dulunya terbiasa melihat video apapun dengan durasi 10–30 menit akan merasa jenuh, kehilangan minat, dan konsentrasi akan tayangan tersebut. Sebenarnya, dampak negatif penggunaan sosial media tidak hanya ada pada TikTok. Sosial media yang lain apabila digunakan secara berlebihan juga bisa memberikan efek yang sama.
Namun, yang berbeda dari Tiktok adalah konsep FYP-nya (for your page) yang membuat pengguna bisa mengonsumsi terus-menerus dengan intens hal-hal yang menarik minatnya secara konstan. Video-video pendek yang sesuai minat pengguna terus-menerus masuk ke halaman aplikasi dan membuat pengguna terus menonton, tidak terasa sudah berjam-jam memegang gadget tanpa putus. Sering mengalaminya?