(Taiwan, ROC) —- Tiongkok menyuarakan keberatan terhadap rencana Jepang yang akan membuang air hasil proses dari reaktor nuklir Fukushima ke laut.
Sebagai tanggapan, mulai 24 Agustus 2023, Tiongkok telah menghentikan seluruh impor produk perikanan dari Jepang.
Keputusan ini tentu memberi dampak besar pada pedagang Jepang.
Menanggapi tindakan Tiongkok tersebut, pada bulan Oktober kemarin, Amerika Serikat mengumumkan bahwa mereka akan mulai membeli hasil laut dari Jepang untuk pasokan makanan bagi pasukan AS yang berada di Jepang, sebagai bagian dari upaya bersama dalam 'Perang Seafood' melawan Tiongkok.
Pelepasan Air Limbah Fukushima Memicu Perang Seafood Antara Tiongkok dan Jepang
Dua belas tahun setelah bencana gempa bumi dan tsunami 11 Maret terjadi, pemerintah Jepang mulai membuang air yang telah diproses dari PLTN Fukushima Daiichi ke laut pada tanggal 24 Agustus 2023, dengan mendapat dukungan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Langkah ini lalu memicu reaksi keras dari Tiongkok, yang kemudian menutup pintu impor produk perikanan dari Jepang, untuk melindungi kesehatan konsumen dan memastikan keamanan pangan impor.
Hilangnya pasar Tiongkok merupakan pukulan keras bagi Jepang, yang merupakan tujuan ekspor terbesar kedua untuk produk seafood dan pertanian Negeri Sakura, dengan pangsa pasar mencapai 40%.
Sejak Tiongkok memberlakukan larangan, pedagang seafood Jepang berjuang dengan kelebihan stok dan penurunan nilai.
Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang, Ichiro Miyashita, menyerukan kepada masyarakat Jepang untuk meningkatkan konsumsi kerang scallop, guna mengurangi dampak dari larangan Tiongkok terhadap industri perikanan.
Meskipun demikian, dampak larangan Tiongkok terhadap ekonomi Jepang pada kenyataannya sangat kecil, karena ekspor perikanan Jepang ke Tiongkok hanya kurang dari 1% dari total volume perdagangan.
Dengan kata lain, larangan ini lebih berdampak sebagai pernyataan politik ketimbang efek ekonomi.
Selain itu, meski ada negara-negara yang memprotes keputusan Jepang untuk membuang limbah nuklir Fukushima, tetapi hanya Tiongkok yang menanggapinya berlebihan, yakni dengan mengimplementasikan larangan impor total.
Makna Politik Lebih Dominan dari Ekonomi dalam 'Perang Seafood', Scallop Hanya Figur Pendukung
Media Reuters mengutip pendapat Takahide Kiuchi dari Nomura Research Institute di Tokyo, yang menyatakan bahwa ekspor produk perikanan Jepang ke Tiongkok dan Hong Kong hanya mencakup 0,17% dari total ekspor Jepang pada tahun 2022.
Meskipun larangan ini berlangsung selama setahun, tetapi dampaknya terhadap Gross Domestic Product (GDP) Jepang diperkirakan hanya berkisar 0,03%.
Ini menunjukkan bahwa pertikaian yang terjadi lebih bersifat politis daripada ekonomis, di mana komoditas mewah seperti scallop dan sea cucumber (teripang) hanyalah elemen sampingan dalam perselisihan ini.
Terutama setelah invasi ke Ukraina pada Februari lalu, membuat Rusia semakin mendekatkan diri dengan Tiongkok.
Moskow mulai mencari peluang di pasar seafood Tiongkok, apalagi setelah Beijing memberlakukan larangan impor terhadap Jepang.
Menghadapi sanksi berat dan boikot karena perang, Moskow berencana untuk mengambil kesempatan ini dengan meningkatkan ekspor seafood ke Tiongkok, memanfaatkan celah bahwa sanksi dari AS dan Uni Eropa tidak berdampak pada sektor makanan mereka.
Dalam rangka mendukung larangan Tiongkok tersebut, Rosselkhoznadzor, lembaga pemerintahan Rusia yang bertugas mengawasi keamanan produk hewan dan tanaman, pada 16 Oktober 2023 mengumumkan bahwa mereka akan mengadopsi langkah serupa Tiongkok untuk melarang impor produk perikanan Jepang.
Intervensi Moskow dalam 'Perang Seafood' ini tidak hanya menambah kerumitan narasi 'tekanan ekonomi' yang diutarakan pemerintah Jepang, tetapi juga memotivasi AS untuk bergabung dalam pertarungan geopolitik.
Pada 30 Oktober 2023, Duta Besar Amerika Serikat untuk Jepang, Rahm Emanuel, mengumumkan bahwa sebagai respons terhadap larangan Tiongkok atas impor produk perikanan Jepang, maka AS akan memulai pembelian seafood Jepang untuk pertama kalinya, guna menyuplai makanan bagi tentara AS yang berada di Jepang.
Emanuel menegaskan bahwa militer Amerika Serikat sebelumnya tidak pernah membeli seafood lokal di Jepang, dan ini akan menjadi kerja sama jangka panjang antara Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dengan sektor perikanan dan koperasi di Jepang.
Ia mengkritik tindakan larangan ini sebagai bagian dari 'perang ekonomi' Tiongkok. Ia juga kemudian mencela strategi tekanan ekonomi Beijing sebagai alat yang paling persisten dan merugikan dalam kotak alat kebijakan mereka.
Ia menekankan, "Kami telah membuktikan bahwa strategi terbaik untuk menghadapi tekanan ekonomi Tiongkok adalah dengan memberikan dukungan serta bantuan kepada negara atau industri yang menjadi target larangan mereka."
Rusia Bergabung, Pertarungan Geopolitik Kian Rumit
Meskipun pembelian scallop Jepang oleh militer Amerika Serikat saat ini belum mencapai satu ton, yang mana angka ini sangat berbeda dengan pembelian 100.000 ton yang biasa dilakukan oleh Tiongkok, tetapi keterlibatan AS memang telah meredakan posisi Jepang yang sebelumnya tampak terpojok sendirian.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Wang Wen-bin (汪文斌), menanggapi pernyataan Duta Besar Rahm Emanuel, menyampaikan bahwa memperkuat hubungan persahabatan adalah tugas seorang duta besar, bukan sebaliknya malah menimbulkan keretakan dan memprovokasi konflik.
Emanuel yang dikenal sebagai sosok tegas tersebut, juga langsung membalas, dengan menunjukkan contoh-contoh seperti sengketa wilayah Tiongkok dengan India, tabrakan dengan kapal nelayan Filipina, peluncuran misil ke perairan dekat Jepang, dan intersepsi tidak aman oleh pilot pesawat tempur Tiongkok terhadap pesawat militer AS.
Rahm Emanuel menyampaikan bahwa contoh-contoh di atas adalah bukti bahwa Tiongkok merupakan pihak yang memang ahli dalam menciptakan kekacauan.
Bukan hanya AS dan Jepang yang bersatu melawan Tiongkok.
Setelah Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol berupaya menyelesaikan persoalan historis dengan Jepang, ketiga negara tersebut, yakni Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan telah mengadakan pertemuan puncak untuk pertama kalinya pada Agustus 2023.
Hal ini serta-merta menunjukkan kesediaan mereka untuk bersatu melawan Tiongkok.
Ketiga pemimpin dalam pernyataan bersama menegaskan oposisi mereka terhadap perilaku berbahaya dan agresif Tiongkok di Laut Timur dan Laut Tiongkok Selatan, serta menentang segala upaya perubahan sepihak atas status-quo wilayah Indo-Pasifik.
Pertemuan puncak ini menyebabkan kecemasan pada Beijing, dan dalam satu minggu setelah pertemuan berakhir, Tiongkok mengimplementasikan larangan terhadap Jepang, menandai awal dari 'Perang Seafood'.
Para ahli berpendapat bahwa dengan memberlakukan larangan terhadap produk perikanan ini, maka Beijing akan menggunakan kebijakan mereka sebagai alat manipulasi politik, serta mengambil kesempatan dari sentimen anti-Jepang di kalangan rakyatnya untuk melakukan panggilan gangguan telepon dalam jumlah besar ke Jepang, yang kemudian bahkan memicu peringatan dari kedutaan Jepang di Tiongkok kepada warga negaranya.
Di sisi lain, Rusia mulai mencoba memanfaatkan kesempatan mereka di pasar Tiongkok, untuk mengisi kekosongan produk perikanan Jepang, berbeda dengan AS yang memutuskan untuk membeli produk perikanan Jepang. Tindakan bersama antara Tiongkok-Rusia ini lebih terkesan seakan-akan memiliki agenda tersembunyi.