(Taiwan, ROC) --- Dibandingkan dengan utang dalam negeri, maka nilai pinjaman Tiongkok ke negara-negara berkembang cenderung lebih kecil, yakni hanya kurang dari 6% PDB setempat. Namun, pinjaman-pinjaman tersebut menjadi sangat sensitif secara politik.
Terlepas dari adanya mekanisme pengawasan ketat, tetapi hal itu ternyata tidak menutup kemungkinan munculnya kritikan dari masyarakat yang memprotes pemerintah lebih mendahulukan pinjaman luar negeri ketimbang membantu warga di dalam negeri.
Oleh sebab itu, banyak warga di Tiongkok yang akhirnya memilih tidak bereaksi saat mengetahui nilai utang luar negeri pemerintah mereka mengalami kemacetan.
Krisis yang Dimulai dari Pembangunan Real Estate yang Berlebihan
Kemacetan pelunasan utang Tiongkok dimulai dari krisis real-estate. Industri real-estate telah mengalami pukulan berat dikarenakan pembangunan terus menerus yang terlampau berlebihan. Hal ini kian diperparah dengan penurunan harga yang terjadi signifikan, yang membuat banyak pembeli potensial merasa terlantarkan.
Puluhan pengembang properti yang telah meminjam segelintir dana dari investor luar negeri telah gagal membayar utang mereka. Kesulitan dari para pengembang di atas kian diperburuk, ketika mereka ternyata juga harus terjerat dengan pemberi utang (bank) dalam negeri.
Apalagi pinjaman yang ditawarkan oleh pemerintah daerah setempat, akan semakin memperunyam persoalan yang sudah ada.
Dalam 10 tahun belakangan, banyak provinsi dan kota di Tiongkok yang telah mempersiapkan platform pembiayaan khusus, dengan mekanisme pengawasan yang lebih longgar, kemudian menyediakan bantuan pinjaman dalam jumlah besar.
Para pejabat setempat kemudian menggunakan dana itu untuk membayar pengeluaran sehari-hari, termasuk melunasi bunga pinjaman, membangun fasilitas jalan, jembatan, taman dan sarana infrastruktur lainnya.
Persoalan real-estate yang macet selalu tumpang tindih dengan nilai utang pemerintah. Sumber pendapatan utama di daerah selama bertahun-tahun bergantung pada nilai sewa jangka panjang dari tanah milik negara kepada pihak pengembang.
Saat ini banyak sektor swasta yang telah kehabisan dana untuk melakukan penawaran, membuat beberapa pemerintah di daerah harus kehilangan pemasukan dari sektor ini
Para pemodal di daerah akhirnya meminjam banyak uang untuk kemudian membeli tanah dengan harga yang sudah selangit, yang akhirnya tidak mampu dibelu para pengembang setempat.
Macetnya sumber keuangan dan semakin mahalnya nilai tanah membuat para pemodal di daerah harus berjuang mati-matian. Hal ini kian diperparah dengan terus melemahnya niat masyarakat untuk memiliki rumah.
Nilai utang di daerah juga diberitakan terus menumpuk. Lembaga Peringkat Kredit Internasional, Fitch Ratings, memperkirakan bahwa nilai utang pemerintah daerah setara dengan 30% dari PDB Tiongkok.
Penderitaan yang Harus Ditanggung oleh Rakyat
Bagi setiap pemerintah atau pebisnis, nilai pinjaman harus dikelola secara produktif, baru bisa memberikan dampak yang positif.
Jika nilai pinjaman “gemuk” tidak dioperasikan dengan baik atau bahkan tidak menghasilkan dana untuk mengembalikan hutang yang ada, maka pihak terkait akan terjerat masalah keuangan yang pelik.
Dan inilah yang terjadi di Tiongok saat ini.
Ketika roda perekonomian melambat, membuat banyak pemerintah di daerah atau lembaga keuangan yang tidak bisa lagi membayar bunga dari utang dari mereka. Dengan kata lain, hal tersebut bisa berdampak pada semakin berkurangnya kemampuan otoritas berwenang untuk menyubsidi fasilitas publik, layanan kesehatan dan jaminan pensiun.
Masalah keuangan dalam negeri telah membuat Tiongkok tidak berani mengambil risiko terhadap macetnya pembayaran utang dari luar negeri. Mengingat Tiongkok menggelontorkan dana tidak sedikit kepada negara-negara berkembang.
Dan ironinya, negara yang mengajukan pinjaman kepada Tiongkok, misal Sri Lanka, Pakistan dan Suriname, saat ini juga terjerat masalah perekonomian yang serius.
Hampir dari dua pertiga ekonomi dunia bergantung pada komoditas ekspor. Dan Bank Dunia sebelumnya sudah memprediksi bahwa harga komoditas dunia pada tahun ini akan turun sebesar 21%.
Kepala Eksekutif AidData, Bradley Parks menyampaikan, pada tahun 2010 hanya ada 5% negara yang mengajukan pinjaman Tiongkok mengalami kemacetan kredit, dan saat ini angka tersebut meningkat pesat menjadi 60%.
Transformasi Ekonomi
Sejauh ini, Tiongkok adalah negara pemberi pinjaman terbesar bagi negara-negara berkembang. Bank-bank di Tiongkok juga cenderung meminjamkan dana mereka dalam bentuk US$, dengan suku bunga yang disesuaikan dengan otoritas Barat.
Nilai utang dari negara berkembang kian melonjak kian pesat, setelah otoritas Federal Reserve AS menaikkan suku bunga mereka semenjak Maret 2022 lalu.
Jika tidak mengadopsi langkah yang tepat, maka banyak negara miskin di dunia akan terus menghabiskan uang mereka hanya untuk membayar utang, yang mana dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk membangun sekolah, klinik dan layanan publik lainnya.
Bradley Parks mengatakan, “Yang paling dirugikan adalah negara-negara berkembang dengan penghasilan menengah. Rakyat mereka akan kehilangan hak untuk menikmati fasilitas publik, karena pemerintah mereka hanya sibuk melunasi nilai utang yang tidak ada habisnya.”
Bagi Tiongkok pribadi, persoalan utang dalam negeri belum bisa segera dituntaskan. Tiongkok sudah waktunya untuk beralih dari program pembangunan pemerintah yang digerakkan oleh utang atau dana keamanan nasional, menuju ke arah perputaran ekonomi yang didasarkan pada layanan konsumen.