(Taiwan, ROC) --- Mungkin saja AS tidak akan memperluas persenjataan nuklir yang sudah ada, melainkan akan menanamkan investasi di sektor perbaikan infrastruktur yang sudah ada secara besar-besaran. Hal ini bukan tidak mungkin malah akan mempercepat pemroduksian senjata nuklir ke taraf yang belum pernah ada selama beberapa dekade belakangan.
Rusia di lain pihak, akan meningkatkan pengembangan fasilitas pendukung “SAMAT”, untuk mendistribusikan rudal balisitik ICBM yang disinyalir terbang melintasi benua.
Sedangkan Tiongkok belum merilis rincian mengenai persenjataan yang dimilikinya. Namun demikian, dana yang dianggarkan oleh Negeri Tirai Bambu tampaknya juga tidak kecil, yang notabene akan diperuntukkan bagi pengembangan rudal balistik dan moda kendaraan pendistribusian bertenaga supersonik.
Jumlah Hulu Ledak Nuklir Milik Tiongkok Meningkat Pesat Tahun Lalu
Di sisi lain, Institut Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) merilis laporan mereka pada tanggal 12 Juni, yang memperlihatkan bahwa jumlah hulu ledak nuklir dunia hingga bulan Januari 2023 diperkirakan mencapai 12.512.
Dari angka di atas, 9.576 di antaranya disertakan dalam inventaris persenjataan tentara militer. Jika dibandingkan dengan data tahun 2022, maka angka tersebut meningkat sebanyak 86.
Sedangkan untuk militer Rusia dan Amerika Serikat, masing-masing memiliki 4.489 dan 3.708 unit.
Laporan tersebut menambahkan, ada sekitar 2.000 senjata nuklir yang sudah ditempatkan di posisi siaga, yang artinya sudah disimpan di pangkalan udara penampung bom nuklir, dan hampir seluruhnya berasal dari pihak Rusia dan Amerika Serikat.
Laporan SIPRI juga menuliskan bahwa jumlah hulu ledak nuklir yang ditingkatkan Tiongkok pada sepanjang tahun lalu adalah yang terbanyak. Awalnya, Tiongkok memiliki 350 hulu ledak nuklir yang siap diluncurkan, dan kini jumlah bertambah menjadi 410.
Negara-negara lain yang juga meningkatkan pasokan hulu ledak mereka, meliputi India, Pakistan dan Korea Utara.
Salah satu rekan senior di divisi pemerhati senjata pemusnah massal SIPRI, Hans M. Kristensen mengatakan, “Tiongkok telah memulai untuk memperluas persenjataan nuklir mereka secara signifikan. Dan ironinya, Tiongkok hanya memiliki kekuatan nuklir minimum yang diperlukan untuk menjaga keamanan teritorial mereka.”
Krisis di Ukraina Mengerdilkan Upaya Pengurangan Senjata Nuklir
Laporan tersebut dirilis di tengah upaya untuk mengurangi persenjataan nuklir dunia mengalami kemunduran besar akibat invasi Rusia ke Ukraina.
Di lain pihak, AS menangguhkan dialog stabilitas strategisnya dengan Rusia.
Tidak lama, Moskow pun membalas dengan membatalkan keikutsertaan mereka dalam Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru (New START), yang mana perjanjian ini adalah yang terakhir antara AS dengan Rusia untuk membatasi, baik pengembangan atau penggunaan senjata nuklir.
Pada saat yang sama, Presiden Rusia Vladimir Putin telah meningkatkan pencegahan nuklir Rusia ke level siaga yang lebih tinggi. Bahkan ia telah mendistribusikan persenjataan nuklir hingga ke kawasan Belarusia. Yang mana ini semua tentu akan meningkatkan risiko terjadinya perang nuklir.
Pakar kebijakan senjata nukir yang juga adalah senior di Carnegie Endowment for International Peace, Tong Zhao (趙通) menyampaikan, persaingan untuk menunjukkan kehebatan antara negara-negara besar tentu akan memperburuk situasi yang ada, apalagi setiap pihak terlihat berlomba-lomba untuk meningkatkan anggaran yang dirasa sangat berlebihan.
Situasi ini kian runyam dengan semakin berkurangnya kontrol di sektor internal negara masing-masing dan melemahnya perjanjian skala internasional.
Sipri juga mengeluarkan peringatan, “Saat ini manusia tengah memasuki salah satu periode yang paling berbahaya dalam sejarah. Pemerintah di seluruh dunia harus mencari cara untuk bekerja sama meredakan ketegangan geopolitik, serta memperlambat niat dari negara besar untuk berlomba menciptakan persenjataan mematikan. Setiap pihak sudah seharusnya untuk mengalihkan fokus kepada penuntasan isu kelaparan dunia dan memperbaiki kondisi lingkungan yang kian memburuk.”