(Taiwan, ROC) —- Petahana Recep Tayyip Erdogan memenangkan pemilu memilih Presiden Turki pada akhir bulan Mei kemarin. Ini berarti, Presiden Recep Tayyip Erdogan berhasil kembali berada di tampuk kekuasaan melanjutkan pemeritahannya.
Namun, pemerhati kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembela golongan minoritas di Turki merasa khawatir dengan terpilihnya Erdogan akan menjadi bumerang, yang dicemaskan bisa memusnahkan kelompok LGBTQ+ dan Suku Kurdi.
Petahana Erdogan berhasil mengalahkan pesaingnya, yakni kandidat Kemal Kilicdaroglu, yang diusung oleh Partai Rakyat Republik (CHP). Erdogan menang dengan suara mencapai 52,18%, sedangkan Kemal 47,82%. Dengan demikian, Erdogan berhasil memerintah Turki selama kurang lebih 20 tahun.
Erdogan sempat menyampaikan, bahwa kemenangan ini adalah kemenangan bagi seluruh negara Turki berpenduduk 85 juta orang tersebut. Namun demikian, banyak pihak yang khawatir kalau pemerintahan Erdogan akan melanjutkan tindakan kerasnya terhadap golongan minoritas, yang notabene sudah berjalan selama bertahun-tahun.
Media Associated Press menunjukkan, dalam beberapa tahun terakhir pemerintahan Presiden Erdogan dikenal karena penindasannya terhadap kebebasan berbicara, dan juga memperuncing permusuhan terhadap kelompok minoritas.
Media arus utama Turki menyatakan dukungannya terhadap pemerintah setempat, salah satunya adalah melakukan sensor secara luas terhadap media daring. Di samping itu, Undang Undang Media Sosial yang baru didorong oleh otoritas Turki juga membatasi pihak-pihak untuk memberikan pidato online. Dan tidak jarang bagi Erdogan juga sering memberlakukab berbagai pembatasan terhadap komunitas LGBTQ+ dan Suku Kurdi.
Dahulu Sempat Mendukung, Kini Sikap Erdogan Berbalik 180 Derajat
Faktanya, pada masa-masa awal di mana Erdogan mulai memberlakukan pemeritahannya, ia mengadopsi sikap yang lebih positif dalam menangani Suku Kurdi, yang jumlahnya mencapai seperlima dari total populasi Turki.
Erdogan memperluas hak politik dan kebudayaan Suku Kurdi. Selain itu, ia juga membatalkan pembatasan penggunaan bahasa Kurdi dan mendorong negosiasi perdamaian dengan Partai Pekerja Kurdi (PKK) ilegal.
Semenjak PKK melancarkan pemberontakan melawan pemerintahan Turki pada tahun 1984, hubungan mereka dengan otoritas setempat kian memburuk. PKK kemudian didaftarkan sebagai organisasi teroris oleh pemerintahan Turki dan sekutu Barat.
Setelah negosiasi antara kedua belah pihak gagal pada tahun 2015, Presiden Erdogan kemudian mulai mengubah arah kepemimpinannya dan menekan perbedaan pendapat. Pemerintahan Turki kemudian menggunakan Undang-Undang Anti Terorisme secara luas, untuk memenjarakan pihak-pihak yang terlibat dengan Ulama Muslim, Fethullah Gulen, yang disinyalir merencanakan aksi kudeta. Selain menargetkan Fethullah Gulen yang berbasis di AS, otoritas Turki juga menyasar tokoh politik dan aktivis masyarakat penduku Suku Kurdi.
Hanya sebulan sebelum pemilu presiden tahun ini dilaksanakan, pemerintah Turki telah menangkap ratusan orang, termasuk puluhan politisi, jurnalis, artis dan pengacara, dengan tuduhan karena memiliki hubungan dengan PKK.
Aksi penangkapan tersebut kemudian dikritik banyak pihak sebagai tindakan pelecehan dan intimidasi.
Tayip Temel, Wakil Ketua Partai Demokratik Rakyat, yang juga adalah partai oposisi terbesar mengatakan, “Kemenangan Erdogan akan mempertegas aturan rezim satu individu, yang tentunya akan membuat aturan mengerikan tersebut berjalan kian mulus. Ini berarti akan membuka jalan bagi hari-hari gelap di setiap tingkatan komunitas warga Turki.”
Partai Demokratik Rakyat adalah salah satu partai di Turki yang mendukung atau pro kepada Suku Kurdi.