Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) telah memutuskan untuk menganulir putusan 50 tahun lalu yang membolehkan perempuan melakukan aborsi.
Dengan putusan ini maka pelarangan atau dibolehkannya hak aborsi diserahkan ke masing-masing negara bagian.
Saat ini, hal untuk menggunakan obat aborsi oral “mifepristone” (RU486) dicemaskan bisa memicu tuntutan hukum. Isu ini bisa saja menjadi pemantik bagi perdebatan para politikus AS, apalagi Negeri Paman Sam akan menghadapi masa-masa pemilu pada tahun 2024 mendatang.
Mahkamah Agung AS Merilis Keputusan Legalitas Aborsi
Penggunaan obat aborsi “mifepristone” kian tidak pasti, setelah Mahkamah Agung AS membatalkan keputusan legalitas aborsi pada tahun lalu. Keputusan tahun lalu juga seakan-akan mengakhiri jaminan konstitusional atas tindakan aborsi, yang dilegalkan pada 50 tahun lalu.
Apalagi sebagian besar kasus aborsi di AS dilakukan dengan obat ini, yang mana sudah mendapat persetujuan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (FDA) AS pada tahun 2000.
Tidak heran, jika “mifepristone” atau juga dikenal dengan sebutan RU486 tersebut menjadi simbol pertentangan kaum feminisme terhadap perjuangan kebebasan wanita AS.
Beberapa kelompok dokter yang mengaku anti-aborsi melayangkan gugatan kepada FDA di Texas, AS, pada tahun lalu. Mereka memprotes kekurangan obat “mifepristone” yang mendapat persetujuan, tanpa didahului prosedur pengujian yang memadai.
Pada awal April tahun ini, hakim Texas Matthew Kacsmaryk merilis putusan awal, yang menentukan bahwa “mifepristone” dilarang digunakan di AS. Oleh karena itu, Departemen Kehakiman AS kemudian melakukan banding untuk membekukan larangan tersebut.
Meskipun pengadilan banding federal AS memblokir perintah larangan penggunaan “mifepristone”, tetapi Hakim Matthew Kacsmaryk dengan tegas tetap membatasi penggunaan obat tersebut.
Beberapa jam setelah putusan dirilis, pemerintahan Joe Biden mengumumkan akan kembali mengajukan banding kepada Mahkamah Agung.
Kisruh Legalitas Mifepristone
Perdebatan penggunaan obat “mifepristone” telah menjadi pembahasan penting perihal legalitas aborsi, yang dibawa hingga ke Mahkamah Agung.
Pada tanggal 21 April 2023, Mahkamah Agung AS memutuskan untuk sementara mempertahankan hak penggunaan “mifepristone”, serta membekukan putusan yang dirilis oleh badan peradilan yang lebih rendah.
Badan peradilan yang lebih rendah tersebut memang pernah mengumumkan larangan atau membatasi akses masyarakat terhadap obat ini.
Dengan demikian, warga AS masih memiliki akses untuk menggunakan “mifepristone”, hingga kasus ini akan kembali diperdebatkan di Pengadilan Banding Sirkuit Kelima Amerika Serikat
Baik tergugat atau penggugat, keduanya bisa mengajukan banding atas putusan pengadilan, kemudian meminta Mahkamah Agung untuk memutuskannya. Proses litigasi masih akan berlanjut hingga tahun 2024, membuat proses kampanye pemilihan Presiden AS akan diselimuti kontroversi penggunaan “mifepristone”, yang tentunya akan memunculkan perdebatan hangat di antara kalangan pemilih.
Yang patut diperhatikan, Pengadilan Banding Sirkuit Kelima Amerika Serikat memiliki 16 hakim yang bertugas. Dari 16 hakim yang ada, enam di antaranya ditunjuk oleh mantan Presiden Trump dari Partai Republik . Sedangkan dari Partai Demokrat, hanya ada empat hakim yang ditunjuk.
Persoalan penggunaan “mifepristone” akan menjadi topik perdebatan hangat dalam aksi kampanye, mengingat Trump dan Presiden Joe Biden sama-sama telah mengumumkan keikutsertaan mereka dalam Pilpres 2024 mendatang.