(Taiwan, ROC) --- Gerakan protes yang terjadi di banyak tempat di Iran telah berlangsung selama 2 bulan. Hingga hari ini, sepertinya belum ada tanda-tanda akan berhenti. Para ahli menyoroti peristiwa tersebut dan berpendapat bahwa aksi protes yang telah menyebar di banyak tempat sebagai bentuk marginalisasi kaum reformis yang pernah aktif.
Para pengunjuk rasa, terutama mereka yang berasal dari kaum muda percaya bahwa kaum reformis sudah ketinggalan zaman. Apalagi kaum reformis dianggap telah gagal membawa perubahan selama bertahun-tahun lamanya. Mereka bersama dengan kaum garis keras adalah dua alasan utama mengapa politik dan sistem sosial di Iran belum bisa berubah sejauh ini.
Protes Iran Memanas, Kaum Reformis Absen Mendukung
Gelombang protes yang melanda Iran terus menyebar luas. Otoritas berwenang bahkan mengerahkan kekuatan mereka untuk memperlakukan para pemrotes dengan begitu keras, dan ada sekitar 300 warga yang dilaporkan tewas. Meski demikian, hal tersebut tidak menyurutkan kemauan warga untuk tetap menggelar aksi protes.
Mereka yang turun ke jalan menuntut untuk menghapus aturan berpakaian bagi kaum perempuan yang dinilai terlampau ketat. Di samping itu, para pemrotes meminta agar teokrasi segera berakhir dan menuntut adanya perubahan politik.
Hal ini sepertinya menimbulkan kekhawatiran para reformis yang pernah aktif sebelumnya. Pengaruh mereka juga mulai memudar di tengah berlangsungnya gelombang demonstrasi Iran belakangan ini.
Mahsa Amin, seorang wanita muda Kurdi Iran dituduh karena tidak mengenakan jilbabnya kemudian ditangkap oleh satuan “kepolisian moralitas” yang terkenal kejam di Teheran. Pada tanggal 16 September 2022 lalu, Mahsa Amin dilaporkan meninggal dalam tahanannya.
Peristiwa tersebut sontak saja membangkitkan amarah wanita Iran. Mereka akhirnya berkumpul dan menggelar aksi protes dengan cara turun ke jalan.
Beberapa ahli berpendapat, krisis yang terjadi saat ini juga sudah menciptakan jurang pemisah besar antara para pengunjuk rasa dengan kaum reformis. Ini juga menjadi bukti bahwa lonceng kematian bagi kaum reformis sudah dinyalakan.
Media Reuters mewartakan, faksi reformis Iran yang muncul pada tahun 1990-an adalah kekuatan utama bagi kebebasan sosial dan politik setempat. Namun, semenjak berita kematian Mahsa Amin mencuat, tidak ada reformis yang tampil untuk mengungkapkan solidaritas mereka kepada para pemrotes.
Media Iran Internasional yang berbasis London, Inggris mewartakan, di tengah krisis yang terjadi, para reformis Iran berada di pinggir lapangan, karena baik pemerintah Iran maupun para pengunjuk rasa tidak percaya jika reformis adalah pilihan politik yang layak dipertimbangkan saat ini.
Jalan Buntu Kaum Reformis
Reformis Iran selalu bersikeras untuk mengubah sistem pemerintah teokratis ini secara bertahap, daripada berusaha langsung untuk menggulingkan rezim. Kali ini juga tidak terkecuali, bahkan ketika warga Iran yang berasal dari seluruh lapisan masyarakat melakukan tantangan yang paling berani terhadap otoritas Teheran, setelah Revolusi Islam pecah pada tahun 1979 silam.
Faktanya, kaum reformis tidak tinggal diam. Solusi yang diusulkan untuk meredakan krisis saat ini, telah dicemooh oleh para pengunjuk rasa, salah satunya adalah referendum untuk membatasi kekuasaan pemimpin tertinggi Iran. Di mata pengunjuk rasa, kaum reformis dianggap telah gagal membawa perubahan selama bertahun-tahun.
Banyak warga Iran yang memiliki harapan tinggi untuk menggaungkan gong perubahan, terutama ketika kaum reformis berkembang di bawah pemerintahan mantan Presiden Mohammad Khatami pada tahun 1997 hingga 2005.
Namun saat ini, ketidakpuasan yang terlihat di jalan-jalan semakin memperlihatkan gagalnya kaum reformis menemukan jalan keluar.