close
RTISISegera unduh Aplikasi ini
Mulai
:::

Part 2. Kenaikan Suku Bunga FED Tertinggi dalam 22 Tahun Belakangan, Ekonom: Kesalahan Diperbaiki dengan Kesalahan Berikutnya

  • 03 June, 2022
Perspektif
Part 2. Kenaikan Suku Bunga FED Tertinggi dalam 22 Tahun Belakangan, Ekonom: Kesalahan Diperbaiki dengan Kesalahan Berikutnya

(Taiwan, ROC) --- Kenaikan suku bunga oleh FED kali ini, tentunya juga didasarkan atas pemikiran yang logis. Pada tahun 2008, perekonomian AS diberitakan sangat terpuruk.

Guna meningkatkan jumlah uang yang beredar dan meransang perputaran ekonomi, maka FED pernah memangkas suku bunga mereka hingga ke level 0% - 0,25%

Tingkat suku bunga yang rendah tersebut dipertahankan selama 7 tahun lamanya. Pada tahun 2015, FED mulai menaikkan suku bunga mereka secara bertahap selama 3 tahun, yakni dengan kenaikan sebanyak 9 kali.

Setelah wabah COVID-19 pecah di seluruh dunia, FED memangkas suku bunga mereka pada tahun 2020, yakni turun di level 0% - 0,25%. Dengan kata lain, suku bunga FED kembali ke titik terendah sama seperti tahun 2008 silam.

Baru pada bulan Maret tahun ini, FED menaikkan suku bunga mereka di level 0,25%.

 

Pukulan Inflasi

Jika menilik prinsip di atas, maka di tengah masa pemulihan ekonomi seperti saat ini, FED sudah seharusnya memangkas suku bunga atau mempertahankannya di taraf yang rendah, dan bukan malah meningkatkannya.

Dalam sebuah pertemuan, Jerome Powell dengan blak-blakan menyampaikan alasan di baliknya, "Inflasi terlalu tinggi, kami memahami kesulitan yang ditimbulkan. Sehingga kami harus mengambil langkah cepat untuk menurunkannya".

Inflasi di AS diberitakan berada di titik tertinggi dalam 40 tahun belakangan, dengan kenaikan Indeks Harga Konsumen tertinggi semenjak Desember 1981.

Indeks Harga Konsumen (IHK) AS untuk bulan Maret diberitakan meningkat dari 7,9% pada bulan Februari.

Harga barang yang telah meningkat, dengan taraf inflasi yang berada di kisaran 6% selama setengah tahun belakangan. Yang mana angka ini jauh dari target rata-rata FED, yaitu 2%.

Ketika inflasi tetap berada di level rendah (2% ~ 3%), maka para ekonom dunia akan menyebutnya sebagai "pelumas perekonomian", dikarenakan sedikit kenaikan pada harga barang, akan mengangkat pendapatan pengusaha, serta memacu mereka untuk berinvestasi lebih jauh dan meningkatkan vitalitas ekonomi.

Sebagian besar ekonom juga memiliki target inflasi berkisar 2%, sehingga penyimpangan yang terlampau jauh dari standar di atas akan dianggap sangat berbahaya, apalagi jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

Oleh karena itu, bagi FED yang juga berperan sebagai Bank Sentral tersebut, bagaimana mengendalikan inflasi yang tinggi tentunya sudah menjadi prioritas yang harus dikerjakan.

Inflasi tinggi yang berkelanjutan juga menjadi masalah politik bagi pemerintahan Presiden Joe Biden, yang akan menghadapi ujian besarnya pada "pemilihan umum paruh waktu" mendatang.

Namun, dirinya mengakui bahwa perang Ukraina dan blokade perusahaan minyak oleh otoritas RRT (Republik Rakyat Tiongkok), telah menambah kerumitan dari pejabat AS. Dan bukan tidak mungkin akan memaksa mereka untuk bertindak lebih agresif dari sebelumnya untuk mengekang jumlah permintaan.

Banyak pakar ekonom percaya bahwa FED terlampau lamban dalam menanggapi kenaikan inflasi yang tinggi.

Thomas Hoenig, senior di George Mason University yang telah bekerja di FED selama hampir 40 tahun mengatakan kepada media BBC, FED dan sebagian besar bank sentral dunia bergerak sangat lambat, bahkan jauh ketinggalan dari kenaikan inflasi.

Dengan ditingkatkan suku bunga kali ini, itu berarti biaya pinjaman FED yang dibebankan kepada pihak bank akan naik hingga 0,75% hingga 1%.

Suku bunga pinjaman yang tinggi akan membantu untuk melawan kenaikan inflasi, karena akan mengurangi jumlah permintaan terhadap kepemilikan properti dan mobil, mengingat kedua produk tersebut menjadi faktor utama meningkatnya inflasi di AS.

Apalagi, inflasi yang terjadi kali ini ternyata jauh lebih lama dan kuat dari yang diperkirakan pejabat FED sebelum-sebelumnya.

 

Kesalahan Demi Kesalahan

FED selain lamban dalam memutuskan kenaikan suku bunga, Thomas Hoenig juga memperingatkan bahwa kenaikan suku bunga yang terlampau tinggi dicemaskan malah akan menciptakan permasalahan baru berikutnya.

Dengan kata lain, kenaikan suku bunga yang terlampau tajam juga berisiko memicu perlambatan ekonomi, terutama jika muncul tantangan baru, misal perang Ukraina - Rusia dan keputusan RRT untuk me-lockdown kembali kawasan mereka.

"Ini adalah jalan yang sangat sempit yang harus dilewati oleh FED, dan itu akan menjadi tugas yang sulit," jelas Donald Kohn, seorang petugas yang bekerja di Komite Penetapan Suku Bunga FED kepada media BBC.

Yang patut dijadikan bahan renungan adalah kebijakan fiskal atau keuangan antara RRT dengan AS justru berada di posisi yang terbalik.

Baru-baru ini, seorang pejabat RRT dalam berbagai pertemuan menyampaikan perihal pengoperasian ekonomi makro perlu dilakukan untuk benar-benar menghidupkan kembali roda perekonomian, setidaknya pada kuartal pertama. Selain itu, juga akan mengambil langkah untuk menanggapi kebijakan moneter dan mempertahankan pertumbuhan dana pinjaman di level moderat.

Bank Rakyat RRT juga telah memperjelas bahwa kebijakan insiatif terkait kebijakan moneter harus segera diterapkan, serta pertumbuhan dana pinjaman harus berada di level moderat, guna mendukung UMKM setempat.

Bank Rakyat RRT menambahkan, akan mendukung pengembangan ekonomi secara nyata dan menjaga roda perekonomian tetap berjalan di kisaran yang wajar.

Alasan mengapa RRT melakukan hal tersebut sebenarnya tidaklah sulit untuk dipahami. Harga barang RRT belum setinggi AS, tetapi kondisi epidemi COVID-19 di banyak kota, seperti di Shanghai dan Beijing, telah membuat prospek perekonomian setempat menjadi lesu pada kuartal kedua. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan finansial yang lebih longgar untuk merangsang daya beli masyarakat.

Orientasi kebijakan moneter yang berjalan terbalik dengan AS juga akan memberikan tantangan tersendiri bagi RRT.

Wakil Kepala China Institute of Capital Markets di Renmin University of China, Zhao Xi-jun (趙錫軍), mengatakan kenaikan suku bunga FED akan meningkatkan nilai aset USD, atau dengan kata lain akan membuat modal mengalir deras keluar dari RRT.

Pelonggaran kebijakan finansial RRT akan membuat kesenjangan antara suku bunga USD dengan RMB semakin sempit, yang mana hal tersebut akan membawa tantangan tertentu, guna menjaga aliran modal neraca pembayaran dan stabilitas nilai tukar RMB.

Penyiar

Komentar